The Art of Happiness
‘The most terrifying fact about the universe is not that it is hostile but that it is indifferent, but if we can come to terms with this indifference, then our existence as a species can have genuine meaning. However vast the darkness, we must supply our own light.’ –Stanley Kubrick-
Sophie kecil di dalam buku Jostein Gaardner di dalam buku Sophie’s World menanyakan pertanyaan besar itu, apakah arti dari hidup kita? Di dalam dunia dimana segala sesuatu telah ditemukan, semua kata telah diucapkan, dan semua maestro telah dilahirkan, apakah kehadiran kita punya arti? Ataukah seperti Stanley Kubrick, arti kita dimulai ketika kita bisa berdamai dengan kenyataan bahwa mungkin, sangat mungkin, kita tidak punya arti dalam konteks, we are not the center of the universe?
Lalu apa tujuan dari eksistensi kita di dunia ini? Para filsuf, salah satunya Aristoteles, menjawab bahwa tujuan dari eksistensi kita adalah untuk mencari kebahagiaan. Kebahagiaan saya pahami dalam bahasa Kubrick sebagai cahaya atau light. Banal? Egois? Tentu saja tidak semua filsuf sepakat. St Augustine yang religius menganggap bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mencintai Tuhan. Heidegger yang eksistensialis menganggap bahwa tujuan hidup manusia adalah hidup tanpa penolakan akan kondisi manusia, terutama akan kematian. Akan tetapi, saya berpikir, apakah hidup yang disertai kesadaran ala Heidegger, cinta pada Tuhan seperti St Augustine adalah hidup yang tanpa kebahagiaan?
Dalai Lama berkata tidak. Di dalam bukunya, The Art of Happiness, Dalai Lama mengatakan bahwa sumber kebahagiaan adalah rasa cukup dengan apa yang kita miliki, kesadaran, dan ‘pasrah’ dalam konteks kepasrahan akan hal-hal yang tidak mungkin diubah oleh tangan manusia, seperti kematian. Dan nyatanya, orang yang religius itu lebih bahagia. Otak yang selalu membandingkan adalah sumber ketidakbahagiaan. Dan menurut survey, orang yang bahagia adalah orang yang selalu berbagi (setidaknya dengan senyuman) dan sebaliknya, orang yang tidak bahagia kebanyakan adalah orang yang terlalu fokus pada dirinya sendiri. Egois.
Happiness is a state of mind. Dan kita tidak perlu untuk menjadi kaya, punya wajah cantik, tubuh indah, atau pasangan yang sempurna untuk menjadi bahagia. Di dalam bukunya, Dalai Lama menyinggung mengenai ‘cinta pada pasangan’ yang menurutnya terlalu dibesar-besarkan. Dalai Lama mengatakan, ketika seseorang terlalu sibuk berharap dan terus berharap akan datangnya pasangan yang sempurna dengan cinta yang mengharu biru seperti Romeo dan Juliet, seseorang terkadang lupa untuk mengapresiasi bahwa selama ini, telah ada seorang ibu yang mencintainya, dan teman-teman yang mengelilingi penuh cinta, atau mungkin seekor binatang peliharaan yang setia. Mengapa harus mengharapkan cinta yang belum tentu datang? Mengapa tidak mengapresiasi cinta yang telah ada? Sekali lagi, happiness is a state of mind.
Dalai Lama mempercayai bahwa jalan menuju kebahagiaan datang dari jiwa yang hangat, mau memberi, berempati, sabar, toleran, dan terbuka. Karena kosmos menarik energi yang sejenis. Jika kita melepaskan energi positif, kosmos akan merespons dengan memberikan energi yang sama. Jika kita tersenyum, akan amatlah jarang bahwa kita tidak akan dibalas dengan senyuman. Dalam hal ini, opposites not attracts. Dan menjaga energi positif adalah hal yang sulit. It’s easy to be angry. Lebih mudah untuk marah, curiga, dan meledak. Untuk bersikap positif dan berbaik sangka pada orang lain selalu membutuhkan kerja keras. Kebahagiaan pada akhirnya adalah kerja keras dan disiplin untuk terus menerus bersikap positif.
Tentu saja, hidup penuh dengan absurditas, penuh dengan rasa sakit, dan lebih mudah bagi diri kita untuk bersikap negatif saat kita kesakitan. Akan tetapi, absurditas dan rasa sakit itu bukan milik kita sendiri. Sekali lagi, we are not the center of the universe, dan rasa sakit itu tidaklah dihantamkan pada kita saja. Kita bukanlah satu-satunya yang dibebani. Dan ketika kita menyadari itu, bahwa setiap orang memiliki masalah dan memikul bebannya masing-masing, kita akan mulai melihat diri kita lebih positif. Bahwa kita bukanlah orang paling malang di dunia ini. Seperti Dr Seuss menuliskannya dengan sungguh indah,’ It's a troublesome world. All the people who're in it are troubled with troubles almost every minute. You ought to be thankful, a whole heaping lot, for the places and people you're lucky you're not.’
Mungkin buku ini tidak menawarkan sesuatu yang baru. Sebagai buku yang mendasarkan dirinya pada positivisme dan asumsi ‘semua manusia itu pada dasarnya baik,’ buku ini berkisar pada pandangan hidup yang positif, rasa terimakasih, sikap terbuka, kebijakan untuk membedakan hal yang bisa diubah dan yang tidak, dan kearifan untuk memahami bahwa kita tidaklah mungkin memahami semuanya. Akan tetapi, buat saya buku seperti ini selalu menyegarkan, di tengah arus informasi yang deras dimana manusia saling mengintip dan membandingkan hidup orang lain melalui Facebook, beradu pintar lewat Twitter, hasrat untuk memiliki yang didorong melalui berbagai cara, buku ini mengajak kita untuk belajar pasrah, menghargai apa yang kita punya, dan merasa cukup. Dan hanya dari diri yang penuh, kita bisa mengisi gelas-gelas milik orang lain. Dan mungkin, sangat mungkin, kita akan memiliki arti.
-for i.t, yes, i guess it's for bigger meaning'
Comments
Post a Comment