mt dan perspektif bias gender terhadap perempuan

menarik melihat diskursus tentang heboh twit mario teguh yang bilang kurang lebih begini,'perempuan pemabok, suka dugem, tukang merokok dan snob tidak layak dijadikan istri'. di twitter yang jadi lanskap surga kebebasan berpendapat di indonesia, mt langsung habis. mungkin ada yang tersinggung. mungkin ada yang berpikir dia stereotyping. dan seperti biasa, banyak komentar pedas. tapi anehnya, mt tidak membalas komentar pedas ini dengan komentar juga (yang ujung-ujungnya mengajak diskusi) tapi malah nge-block orang yang ngomong pedas. dalam hal ini, tifatul yang juga sering jadi sasaran komentar pedas, terlihat lebih elegan dan mau berdiskusi (dan mendengarkan). kemudian ketika komentar pedas makin banyak dan dia tidak punya waktu buat nge-block, untuk mengurangi kerusakan image dia berkilah kalau itu yang menulis moderator, bukan dirinya sendiri. tidak lama kemudian, twitter-nya diprotect, kemudian dihapus.

aneh. sebagai orang yang menjual image dan kata-kata sebagai bagian dari dagangannya, mt harusnya tahu betul bahwa dia harus mengontrol semua output dari semua jenis media yang dia kelola. berkilah bahwa itu ulah moderator membuat saya berpikir bahwa pak mt kok menyalahkan orang lain, dan dia tidaklah sesuper itu, yang ya ga apa-apa juga kan? dia kan manusia, bukan Tuhan atau superman. kalau memang dia berpendapat seperti itu, ya kenapa tidak dibela saja pendapatnya? kenapa harus menyalahkan orang lain dan ujung-ujungnya mutung?

saya-harus diakui-termasuk tipikal orang yang skeptis dengan motivator dan sejenisnya. dulu saya pernah baca satu tulisan bagus di newsweek (yang saya baca di lounge di bandara) yang mengatakan bahwa kenapa kita selalu harus 'positif' dan selalu punya perspektif semuanya bisa, padahal kenyataannya tidak semua bisa kita lakukan. perspektif tersebut membuat kita punya megalomania kompleks dan merasa super melebihi apapun. perspektif tersebut disatu sisi bagus, akan tetapi disisi lain bisa destruktif ketika kita terbentur tembok. kecerdasan adalah kemampuan kita untuk mengenali hal mana yang bisa kita ubah dan hal mana yang harus kita terima apa adanya. bahkan superman harus menyerah pada kryptonite. iya, henin-hardenne bilang impossible is nothing. tapi dia bicara dalam ranah olahraga (dan dia tidak mencoba untuk main golf dan bilang hal yang sama). mungkin kesannya, perspektif 'menerima' ini membuat kita jadi pasrah dan tidak super, walaupun menurut saya, perspektif ini membuat kita menjadi lebih bijak.

saya lebih suka membaca tulisannya gede prama di kompas hari minggu biasanya. dulu, saya suka anthony de mello. mungkin karena saya bukan ambisius. mungkin karena menurut saya, di hadapan Tuhan, kita ini bukan apa-apa. semua yang kita miliki bisa tercerabut kapan saja. kemampuan kita untuk melenting balik dan menyadari bahwa yah, ranah kita ada batasnya dan setelah kita berusaha, itu sudah bukan urusan kita lagi (dalam islam, saya suka sekali dengan konsep istiqamah). tidak perlulah menjadi manusia super.

tapi bukan maksud hati saya menyerang pak mt. saya hanya berbeda pendapat dengan beliau.

sebenarnya, yang ingin saya bahas adalah komentar beliau di twit itu yang ditujukan pada perempuan. saya tidak merokok, (sudah) tidak suka dugem, tidak pernah mabuk dan mudah-mudahan tidak snob, tapi saya ikut tersinggung dengan twit tersebut. ketika di detik.com banyak orang yang sependapat dengan beliau, semuanya berkomentar bahwa itu benar adanya. perempuan yang soleh (yaitu yang tidak merokok, tidak dugem dan tidak mabuk) adalah materi yang baik untuk menjadi istri. ada beberapa yang mencoba untuk adil bahwa konsep yang sama berlaku untuk suami (laki-laki) juga. tapi sebagian besar berkomentar bahwa yah begitulah, kalau tidak ada laki-laki yang mau sama kamu, coba lihat kelakuan kamu, mungkin kamu suka merokok, snob dan suka dugem.

sebuah perspektif yang khas patriarkal tentang perempuan dan menempatkan sebagai sebuah barang dengan nilai tertentu yang bisa ditebus. seperti kata erich fromm, perspektif dagang di dalam cinta (di dalam bukunya the art of loving). sekali lagi, bukan berarti saya ikut menyetujui rokok, dugem, dan snob ya. saya tidak suka rokok, baik pada laki-laki ataupun perempuan. saya khawatir dengan dagangan perusahaan rokok yang menyasar anak kecil dan bikin 'smoking is cool'. saya rasa dugem (setelah saya mencobanya) tidak punya banyak manfaat buat saya. dan snob jadi masalah untuk konsumerisme di indonesia. tapi saya tidak berani menilai orang lain. siapa saya? mungkin karena pak mt super, dia berani, hehe...tapi lagi-lagi, saya menyoroti bahwa yang disoroti pak mt di twit-nya itu adalah perempuan. seolah-olah kontribusi keluarga sakinah untuk moralitas yang baik berasal dari perempuan (dan laki-laki sah saja membakar uangnya untuk rokok). di banyak keluarga miskin yang saya lihat, bahkan si suami tidak mau melepaskan kebiasaannya merokok, padahal rokok itu harganya bisa membeli telur yang bergizi untuk anaknya. dan istrinya? tentu saja tidak merokok, dan siang hari bekerja di pabrik, sore dan malam hari harus mengurus keluarganya sementara suaminya pengangguran dan sibuk main gaple di poskamling. speechless? iya...lalu kenapa tidak pernah dikampanyekan laki-laki jangan merokok, mending beli telur buat anak?

saya juga punya beberapa teman perempuan yang merokok. juga suka dugem. kadang-kadang mabuk. dan mereka baik sebagai teman. suka menolong. tidak korupsi. ketika akhirnya menikah dan punya anak, dengan sendirinya semua kebiasaan itu dihentikan, walaupun saya tahu teman saya itu sakaw rokok. apa itu bukan sebuah perjuangan? apa orang seperti itu tidak punya karakter? sekali lagi, saya rasa kita terjebak stereotyping. tidaklah ada hak untuk menilai orang lain. tidaklah ada hak untuk menentukan mana yang pantas mana yang tidak untuk sebuah relasi personal yang privat (komentar tentang layak tidaknya dijadikan istri). kalau ada yang mabuk di depan umum dan mengganggu orang lain, bolehlah ditegur.

dan, sekali lagi, mengapa selalu perempuan yang dituntut? mana laki-laki? apa laki-laki bisa seenaknya? (tentu saja tidak, tapi tuntutan untuk laki-laki jarang sekali mengemuka). apa laki-laki pengangguran yang suka merokok bisa dikategorikan dan dicap saja tidak layak jadi suami? menurut saya, perspektif yang bias gender terhadap perempuan ini membuat posisi perempuan di dalam rumahtangga akhirnya menjadi lebih berat.  bukan cuma mencari uang, tapi juga mengurus suami, anak, dan rumah tangga, dan laki-laki seringkali merasa cukup dengan bekerja, kemudian hanya memikirkan dirinya sendiri, harga dirinya sendiri. perspektif keluarga kadang tidak muncul (tapi tentu saja ini juga stereotype. saya menemukan banyak lelaki baik yang mau berbagi peran dengan istri, penyayang, tidak merokok apalagi dugem, dan ketika berpikir, selalu dalam kerangka keluarga).

saya menemukan banyak perempuan hebat dengan semangat survival yang gila. dan akhir-akhir ini, saya juga berpikir tentang mbak aniek, anak plano yang membunuh tiga orang anaknya yang sempat heboh itu. terus terang, dia membuat saya menitikkan airmata. apa yang dialaminya sehingga dia bisa melakukan hal itu? terlalu sering, terlalu sering, keberadaan perempuan dan perannya dianggap next to nothing, dan saya rasa kita harus belajar untuk lebih berempati. menempatkan semuanya pada perspektif yang tidak bias (gender).

apakah saya sudah mirip dengan para feminis? haha...

pic: gabriel metsu, a woman smoking

Comments

Popular Posts