Salah
Saya punya saudara. Beberapa (puluh) tahun yang lalu saudara saya itu memulai hidup berkeluarganya dengan membuka sebuah warung kecil di rumahnya. Tadinya dia pekerja sebuah pabrik tekstil yang kemudian dikeluarkan karena pabrik tekstil lebih suka memiliki karyawan perempuan dengan berbagai alasan.
Pekerja keras, saudara saya membuat warung itu berkembang pelan-pelan. Dari warungnya dia sedikit demi sedikit bisa memperbaiki rumah yang tadinya separuh bilik dengan kamar mandi di luar. Kemudian bisa membeli kendaraan bermotor. Mulai dari motor bebek, motor besar, hingga sebuah mobil (biarpun 'hanya' sebuah mobil tua).
Dan sayapun tidak lagi mengikuti kisah kehidupannya hingga kemarin ketika saya menelpon ibu saya, ibu saya bercerita. Saudara saya itu sekarang kesulitan. Warungnya sepi. Mobil sudah tidak ada. Kini, untuk menyambung hidup dan membiayai anaknya sekolah, saudara saya bekerja sebagai kuli bangunan. Anaknya sudah diwanti-wanti bahwa tidak akan ada universitas untuknya, cukup sekolah sampai SMA. Saudara saya, tentu saja, sudah berada pada umur yang tidak muda lagi untuk mencari nafkah sebagai buruh bangunan, tapi semua itu dijalaninya tanpa banyak bicara.
Sayapun tersentak. Malamnya saya tidak bisa tidur. Ada yang salah dalam cerita tersebut. Lebih salah lagi, ketika cerita tersebut adalah cerita biasa lagu lama yang akan didengar kalau kita membuka telinga kita di kampung urban juga pedesaan Indonesia.
Pemerintah hanya menjadi penonton, menyaksikan warganegaranya berjibaku dengan kehidupan. Warga yang dengan patuhnya (hampir terlalu takut untuk melanggar) membayar semua kewajiban yang dibebankan pada mereka hanya untuk menerima pelayanan buruk dan mahal untuk selembar KTP, jalan yang rusak dan polisi yang tidak bisa dipercaya, dan kemiskinan yang mengintai mereka yang hanya memiliki kerja keras sebagai alat. Warga yang memilih politisi hanya karena harus, tanpa paham bahwa orang-orang yang mengatasnamakan mereka mengambil keping demi keping uang yang mereka bayarkan demi menggendutkan perut sendiri. Tak ada perlindungan untuk para pemilik warung dari pemilik modal yang mendirikan minimarket, supermarket, hingga hipermarket dimana-mana. Tak ada jaminan keamanan dan kenyamanan untuk masa tua. Tak ada sekolah terjangkau untuk anaknya.
Saya mengutuki pendidikan yang tak mengajari saudara saya untuk menabung dengan baik, menyerapahi dunia konsumsi yang mendorong saudara saya untuk menyimpan uangnya dalam bentuk kendaraan bermotor yang nilainya terjun bebas sehari setelah barang tersebut kita beli baru.
Ada sesuatu yang salah dengan cerita yang saya dengar dan tuliskan ini. Salah. Dan saya terlalu gagap untuk menuliskannya.
Pekerja keras, saudara saya membuat warung itu berkembang pelan-pelan. Dari warungnya dia sedikit demi sedikit bisa memperbaiki rumah yang tadinya separuh bilik dengan kamar mandi di luar. Kemudian bisa membeli kendaraan bermotor. Mulai dari motor bebek, motor besar, hingga sebuah mobil (biarpun 'hanya' sebuah mobil tua).
Dan sayapun tidak lagi mengikuti kisah kehidupannya hingga kemarin ketika saya menelpon ibu saya, ibu saya bercerita. Saudara saya itu sekarang kesulitan. Warungnya sepi. Mobil sudah tidak ada. Kini, untuk menyambung hidup dan membiayai anaknya sekolah, saudara saya bekerja sebagai kuli bangunan. Anaknya sudah diwanti-wanti bahwa tidak akan ada universitas untuknya, cukup sekolah sampai SMA. Saudara saya, tentu saja, sudah berada pada umur yang tidak muda lagi untuk mencari nafkah sebagai buruh bangunan, tapi semua itu dijalaninya tanpa banyak bicara.
Sayapun tersentak. Malamnya saya tidak bisa tidur. Ada yang salah dalam cerita tersebut. Lebih salah lagi, ketika cerita tersebut adalah cerita biasa lagu lama yang akan didengar kalau kita membuka telinga kita di kampung urban juga pedesaan Indonesia.
Pemerintah hanya menjadi penonton, menyaksikan warganegaranya berjibaku dengan kehidupan. Warga yang dengan patuhnya (hampir terlalu takut untuk melanggar) membayar semua kewajiban yang dibebankan pada mereka hanya untuk menerima pelayanan buruk dan mahal untuk selembar KTP, jalan yang rusak dan polisi yang tidak bisa dipercaya, dan kemiskinan yang mengintai mereka yang hanya memiliki kerja keras sebagai alat. Warga yang memilih politisi hanya karena harus, tanpa paham bahwa orang-orang yang mengatasnamakan mereka mengambil keping demi keping uang yang mereka bayarkan demi menggendutkan perut sendiri. Tak ada perlindungan untuk para pemilik warung dari pemilik modal yang mendirikan minimarket, supermarket, hingga hipermarket dimana-mana. Tak ada jaminan keamanan dan kenyamanan untuk masa tua. Tak ada sekolah terjangkau untuk anaknya.
Saya mengutuki pendidikan yang tak mengajari saudara saya untuk menabung dengan baik, menyerapahi dunia konsumsi yang mendorong saudara saya untuk menyimpan uangnya dalam bentuk kendaraan bermotor yang nilainya terjun bebas sehari setelah barang tersebut kita beli baru.
Ada sesuatu yang salah dengan cerita yang saya dengar dan tuliskan ini. Salah. Dan saya terlalu gagap untuk menuliskannya.
Comments
Post a Comment