Perjalanan
It's neither here, nor there...
Setiap perjalanan untuk saya berarti perjalanan menjelajahi dua dunia. Dunia luas yang bernama makrokosmos, dan dunia dalam diri saya sendiri yang bernama mikrokosmos. Dalam setiap perjalanan, setiap kali saya sampai di tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, maka saya akan menjelahi sudut-sudutnya dengan rasa penasaran sambil menyelami diri saya juga yang pada saat bersamaan merasakan berbagai macam perasaan. Keterasingan. Rindu rumah. Gamang. Takut pada hal yang tidak familiar. Kecurigaan pada orang yang tidak saya kenali. Dan setiap kali, setiap kali, selalu ada orang yang mengulurkan tangannya, memberi saya senyuman, dan membuat saya bahagia, karena dimana saja, ternyata semua orang hanya ingin bahagia. Dan kita, manusia, berbagi matahari yang itu-itu juga.
Sebagai seorang yang (terlalu) sensitif, kadang perjalanan menjadi sesuatu yang melelahkan. Saya jadi gampang sedih. Di setiap sudut dunia, entah itu Jakarta, atau Paris yang glamor, saya masih saja melihat hal-hal yang membuat saya meneteskan airmata. Saya dengan canggungnya mengulurkan makanan yang baru saja saya beli ketika saya melihat seorang lelaki renta mengorek-ngorek tempat sampah di sudut Sevilla, Andalusia, dan orang itu menatap saya dari atas ke bawah -menyadari saya yang memakai jilbab- dan kemudian memuji Tuhannya sedikit ragu-ragu di hadapan saya dengan membuat tanda salib di tubuhnya, kemudian memakan makanan dari saya dengan rakusnya. Ah, bapak, kita berbagi Tuhan yang sama, kalau Tuhan itu ada. Dan saya berlalu dengan menahan airmata, berapa lama dia tidak makan? Seorang perempuan yang tidak saya kenal, di stasiun kereta Antwerpen yang indah itu, mendekati saya dengan ragu-ragu, kemudian meminta 3 euro untuk tempat tinggal karena dia kehabisan uang. Saya mengulurkan uang, dia berlalu dengan bahagia, dan tiba-tiba saya sadar, dia tidak membawa tas atau barang di pundaknya. Saya teringat tangannya yang penuh goresan, dan tiba-tiba saya sedih, karena mungkin saya memberi seorang gadis remaja uang untuk membeli barang terlarang.
Saya juga seringkali terlalu ingin menyukai sebuah kota. Dan memaksa semua orang tersenyum pada saya. Saya sedih ketika sebaliknya. Berpikir bahwa ada yang salah dengan diri saya. Padahal, saya seorang yang asing dan tidak semua orang suka tersenyum pada orang asing. Padahal, seringkali, seperti hidup, orang-orang memberi saya kejutan-kejutan manis dalam perjalanan. Bantuan yang seringkali datang tanpa diminta. Tas yang dibawakan, pintu yang dibukakan. Dan senyuman. Senyuman yang saya inginkan. Senyuman yang membuat saya sadar, ketika batas-batas keterasingan itu dilampaui, manusia pada dasarnya hanya ingin damai. Seperti saya, mereka juga ingin senyuman. Kini, ketika saya tidak memperoleh senyuman, saya menghibur diri saya. Mungkin mereka sedang sedih. Dan saya memberi mereka senyuman, yang seperti matahari, tidak perlu dibeli dan tidak pernah habis.
Perjalanan, seperti juga kehidupan, mengajari saya bahwa banyak sekali hal yang tidak saya ketahui, yang tidak saya pahami. Tapi bukan berarti kita harus takut untuk maju ke depan. Bahwa kadang hal-hal tidak berjalan seperti yang saya inginkan. Tapi semua akan baik-baik saja. Bahwa selalu akan ada kejutan, entah pahit entah manis, dan saya harus belajar menerima keduanya dengan lapang dada. Bahwa manusia, pada dasarnya sama saja...
Perjalanan mengajarkan saya untuk rindu dan menghargai apa yang saya miliki. Walaupun rumah, seringkali saya rasakan, it's neither here nor there...
Setiap perjalanan untuk saya berarti perjalanan menjelajahi dua dunia. Dunia luas yang bernama makrokosmos, dan dunia dalam diri saya sendiri yang bernama mikrokosmos. Dalam setiap perjalanan, setiap kali saya sampai di tempat yang belum pernah saya datangi sebelumnya, maka saya akan menjelahi sudut-sudutnya dengan rasa penasaran sambil menyelami diri saya juga yang pada saat bersamaan merasakan berbagai macam perasaan. Keterasingan. Rindu rumah. Gamang. Takut pada hal yang tidak familiar. Kecurigaan pada orang yang tidak saya kenali. Dan setiap kali, setiap kali, selalu ada orang yang mengulurkan tangannya, memberi saya senyuman, dan membuat saya bahagia, karena dimana saja, ternyata semua orang hanya ingin bahagia. Dan kita, manusia, berbagi matahari yang itu-itu juga.
Sebagai seorang yang (terlalu) sensitif, kadang perjalanan menjadi sesuatu yang melelahkan. Saya jadi gampang sedih. Di setiap sudut dunia, entah itu Jakarta, atau Paris yang glamor, saya masih saja melihat hal-hal yang membuat saya meneteskan airmata. Saya dengan canggungnya mengulurkan makanan yang baru saja saya beli ketika saya melihat seorang lelaki renta mengorek-ngorek tempat sampah di sudut Sevilla, Andalusia, dan orang itu menatap saya dari atas ke bawah -menyadari saya yang memakai jilbab- dan kemudian memuji Tuhannya sedikit ragu-ragu di hadapan saya dengan membuat tanda salib di tubuhnya, kemudian memakan makanan dari saya dengan rakusnya. Ah, bapak, kita berbagi Tuhan yang sama, kalau Tuhan itu ada. Dan saya berlalu dengan menahan airmata, berapa lama dia tidak makan? Seorang perempuan yang tidak saya kenal, di stasiun kereta Antwerpen yang indah itu, mendekati saya dengan ragu-ragu, kemudian meminta 3 euro untuk tempat tinggal karena dia kehabisan uang. Saya mengulurkan uang, dia berlalu dengan bahagia, dan tiba-tiba saya sadar, dia tidak membawa tas atau barang di pundaknya. Saya teringat tangannya yang penuh goresan, dan tiba-tiba saya sedih, karena mungkin saya memberi seorang gadis remaja uang untuk membeli barang terlarang.
Saya juga seringkali terlalu ingin menyukai sebuah kota. Dan memaksa semua orang tersenyum pada saya. Saya sedih ketika sebaliknya. Berpikir bahwa ada yang salah dengan diri saya. Padahal, saya seorang yang asing dan tidak semua orang suka tersenyum pada orang asing. Padahal, seringkali, seperti hidup, orang-orang memberi saya kejutan-kejutan manis dalam perjalanan. Bantuan yang seringkali datang tanpa diminta. Tas yang dibawakan, pintu yang dibukakan. Dan senyuman. Senyuman yang saya inginkan. Senyuman yang membuat saya sadar, ketika batas-batas keterasingan itu dilampaui, manusia pada dasarnya hanya ingin damai. Seperti saya, mereka juga ingin senyuman. Kini, ketika saya tidak memperoleh senyuman, saya menghibur diri saya. Mungkin mereka sedang sedih. Dan saya memberi mereka senyuman, yang seperti matahari, tidak perlu dibeli dan tidak pernah habis.
Perjalanan, seperti juga kehidupan, mengajari saya bahwa banyak sekali hal yang tidak saya ketahui, yang tidak saya pahami. Tapi bukan berarti kita harus takut untuk maju ke depan. Bahwa kadang hal-hal tidak berjalan seperti yang saya inginkan. Tapi semua akan baik-baik saja. Bahwa selalu akan ada kejutan, entah pahit entah manis, dan saya harus belajar menerima keduanya dengan lapang dada. Bahwa manusia, pada dasarnya sama saja...
Perjalanan mengajarkan saya untuk rindu dan menghargai apa yang saya miliki. Walaupun rumah, seringkali saya rasakan, it's neither here nor there...
Comments
Post a Comment