mengapa menjadi kura-kura (kadang) lebih baik
cerita ini dimulai dengan fabel masa kecil saya tentang kancil dan kura-kura. semua orang tahu betapa kancil cepat dan kura-kura lambat sehingga ketika ada orang (atau binatang) yang cukup sinting untuk mengajak mereka berlomba lari, semua merasa hasil akhirnya akan dapat diprediksi. doesn't take a rocket scientist to tell the result. akan tetapi, pada kenyataannya, ada satu faktor, dalam hal ini faktor sifat (binatang dalam relevansinya dengan si kancil) yang tidak bisa diprediksi. sifat jumawa yang dimiliki si kancil membuat si kancil berleha-leha dan akhirnya kalah dari kura-kura yang lambat.
fabel itu menyimpan sebuah kearifan. tidak selamanya lambat itu jelek atau salah. kadang, menurut saya, menjadi kura-kura (baca:lambat) adalah lebih baik.
harus saya akui bahwa saya bukan penganut paham 'pertumbuhan'-isme. di dunia dimana segala sesuatu sudah berlebihan dan manusia terus menerus berupaya menciptakan sesuatu yang 'lebih tinggi, lebih besar, lebih cepat,' saya tidak dengan serta merta menganggapnya lebih baik. bahkan, saya merasa sedikit bosan dengan jargon-jargon tersebut. jalannya sebuah negara dinilai dari tingkat pertumbuhannya dan jika kita bisa tumbuh lebih tinggi dari negara lain semua orang bertepuk tangan. tidak ada yang mencoba bersikap kritis apa yang harus dikorbankan untuk mencapai pertumbuhan itu. dan ini yang lebih menakutkan. jika hari ini kita tumbuh 10% maka esok kita ingin tumbuh 15%, dan seterusnya. seperti sebuah sumur tanpa dasar. kita tidak peduli jika pertumbuhan kita mengorbankan lingkungan atau mengorbankan manusia yang lain, bahkan masa depan anak cucu kita.
kita tidak pernah merasa cukup. kita berjalan, kemudian berjalan lebih cepat, lalu berlari, naik kuda, naik mobil, dan kemudian naik pesawat. dan kita masih merasa belum cukup.
tentu saja, kompetisi dan pertumbuhan baik. selama kita tahu batasnya. selama kita tidak mengorbankan hal yang lebih penting. selama kita tahu apa alasan kita harus terus bertumbuh lebih tinggi.
milan kundera menulis di dalam bukunya, slowness, bahwa lambat itu berkorelasi positif dengan ingatan. jika kita baru saja mengalami kejadian yang menyenangkan, kita ingin mengingatnya dengan berjalan pelan, mungkin dengan tersenyum-senyum sendiri sepanjang jalan. jika kita ingin melupakan sesuatu yang buruk, kita melupakannya dengan berjalan tergegas, berusaha membuang semua ingatan dari kepala.
dengan teknologi yang membuat segala sesuatunya menjadi lebih cepat, informasi yang datang dan pergi sehingga hanya diingat sekilas saja, apakah kita ada disini, menjalani hidup ini hanya untuk menjadi lupa? apakah saya menjalani hidup saya hari ini dengan harapan bahwa besok saya akan lupa semua yang saya lakukan hari ini? lalu untuk apa saya menjalaninya jika yang saya ingat hanyalah lupa?
saya membaca kembali buku thomas l.friedman, hot, flat, and crowded hari ini dan diingatkan bahwa krisis yang terjadi kemarin di Amerika memperlihatkan pada kita apa yang akan terjadi ketika keserakahan terus menerus ditimbun, kesalahan ditutup dengan kesalahan, jika pertumbuhan terus menerus dikejar tanpa pernah mencoba mencerna akibat atau side effect-nya.
saya rasa, kadang menjadi kura-kura itu lebih baik. supaya kita tidak jumawa. supaya kita belajar untuk 'mengada', untuk fokus. untuk bisa mengingat apa yang saya lakukan. untuk bisa mengapresiasi senyum di wajah anak saya. untuk menjadi. bahagia.
fabel itu menyimpan sebuah kearifan. tidak selamanya lambat itu jelek atau salah. kadang, menurut saya, menjadi kura-kura (baca:lambat) adalah lebih baik.
harus saya akui bahwa saya bukan penganut paham 'pertumbuhan'-isme. di dunia dimana segala sesuatu sudah berlebihan dan manusia terus menerus berupaya menciptakan sesuatu yang 'lebih tinggi, lebih besar, lebih cepat,' saya tidak dengan serta merta menganggapnya lebih baik. bahkan, saya merasa sedikit bosan dengan jargon-jargon tersebut. jalannya sebuah negara dinilai dari tingkat pertumbuhannya dan jika kita bisa tumbuh lebih tinggi dari negara lain semua orang bertepuk tangan. tidak ada yang mencoba bersikap kritis apa yang harus dikorbankan untuk mencapai pertumbuhan itu. dan ini yang lebih menakutkan. jika hari ini kita tumbuh 10% maka esok kita ingin tumbuh 15%, dan seterusnya. seperti sebuah sumur tanpa dasar. kita tidak peduli jika pertumbuhan kita mengorbankan lingkungan atau mengorbankan manusia yang lain, bahkan masa depan anak cucu kita.
kita tidak pernah merasa cukup. kita berjalan, kemudian berjalan lebih cepat, lalu berlari, naik kuda, naik mobil, dan kemudian naik pesawat. dan kita masih merasa belum cukup.
tentu saja, kompetisi dan pertumbuhan baik. selama kita tahu batasnya. selama kita tidak mengorbankan hal yang lebih penting. selama kita tahu apa alasan kita harus terus bertumbuh lebih tinggi.
milan kundera menulis di dalam bukunya, slowness, bahwa lambat itu berkorelasi positif dengan ingatan. jika kita baru saja mengalami kejadian yang menyenangkan, kita ingin mengingatnya dengan berjalan pelan, mungkin dengan tersenyum-senyum sendiri sepanjang jalan. jika kita ingin melupakan sesuatu yang buruk, kita melupakannya dengan berjalan tergegas, berusaha membuang semua ingatan dari kepala.
dengan teknologi yang membuat segala sesuatunya menjadi lebih cepat, informasi yang datang dan pergi sehingga hanya diingat sekilas saja, apakah kita ada disini, menjalani hidup ini hanya untuk menjadi lupa? apakah saya menjalani hidup saya hari ini dengan harapan bahwa besok saya akan lupa semua yang saya lakukan hari ini? lalu untuk apa saya menjalaninya jika yang saya ingat hanyalah lupa?
saya membaca kembali buku thomas l.friedman, hot, flat, and crowded hari ini dan diingatkan bahwa krisis yang terjadi kemarin di Amerika memperlihatkan pada kita apa yang akan terjadi ketika keserakahan terus menerus ditimbun, kesalahan ditutup dengan kesalahan, jika pertumbuhan terus menerus dikejar tanpa pernah mencoba mencerna akibat atau side effect-nya.
saya rasa, kadang menjadi kura-kura itu lebih baik. supaya kita tidak jumawa. supaya kita belajar untuk 'mengada', untuk fokus. untuk bisa mengingat apa yang saya lakukan. untuk bisa mengapresiasi senyum di wajah anak saya. untuk menjadi. bahagia.
Enci, ternyata soal "pertumbuhan" kita pikirannya sama. Saya sempet curhat tentang masalah "pertumbuhan" ini ke suami dan bertanya-tanya mengapa sih orang-orang banyak yang terobsesi sama yg namanya "pertumbuhan" dan kehilangan konteks dengan keadaan yang sebenarnya.
ReplyDeleteiya, bertumbuh itu baik, tapi jika itu menjadi sebuah tujuan tanpa batasan buat saya jadinya melelahkan, apalagi jika ukuran2 yang dipergunakan adalah ukuran kuantitatif
ReplyDeletemungkin karena 'pertumbuhan' selalu diasosiasikan dengan perbaikan, ya, dan secara umum manusia kan selalu ingin lebih baik. tapi ketika pertumbuhan ini diasosiasikan tidak lagi dengan hal yang esensial, tapi yang sifatnya sudah dekoratif (seperti mobil paling baru, gadget paling canggih), saya setuju sih bahwa kemudian pertumbuhan jadi hilang konteks. kalo saya, jadi ilfil, hehe
ReplyDeletesaat ini saya sedang mencoba berjalan dengan pelan-pelan, waktu yang dilalui semenjak 1,5th yang lalu lulus saya merasa waktu berjalan cepat sekaligus lambat.
ReplyDeleteBerjalan cepat karena seharusnya saya bersyukur ada yang bisa saya kerjakan selama 1,5th terakhir. Tapi rasanya semakin lama dipacu untuk semakin cepat sehingga seperti yang pernah disinggung di atas, Saya merasa kehilangan esensi apa yang saya lakukan.
*eh curhat deh* :p
hehe..puch, kadang berhenti sejenak, mengambil nafas dan berpikir itu perlu #notestoself (btw, karena banyak spam, maap yah komen-nya dimoderasi)
ReplyDelete