perjalanan
Now I see the secret of the making of the best persons,
It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.
perjalanan saya yang pertama dahulu adalah ketika ayah saya pindah bekerja ke sebuah kota kecil di tengah hutan sumatra, tanjung enim. satu hari satu malam naik bis malam yang dikemudikan seperti orang gila. beberapa hiburan yang ditemukan hanyalah ketika turun di pelabuhan merak naik kapal laut, atau berhenti makan di rumah makan padang yang entah kenapa memiliki kemampuan untuk sprung out of nowhere.
dari situ saya mulai mencintai pelabuhan. pelabuhan seperti sebuah akhir perjalanan, walaupun sebenarnya dari pelabuhanlah perjalanan lain dimulai. dan saya mulai mengagumi orang padang, yang bisa menghadirkan rendang di tengah hutan.
di tanjung enim yang kecil dan dialiri sungai, saya naik sepeda kemana-mana, atau berjalan kaki. perjalanan kecil saya setiap hari adalah perjalanan pergi dan pulang ke sekolah yang bisa makan waktu sampai dua jam. naik angkutan umum yang disambung jalan kaki. tidak ada keluhan karena saya berjalan bersama anak-anak lain, menyusuri rel kereta api tua yang sudah tidak terpakai. sebagian teman saya, ketika pulang sekolah, memilih untuk menceburkan badan mereka ke sungai sebelum pulang ke rumah. saya beruntung karena ayah saya bukan petinggi yang tinggal di kawasan steril. saya bisa memanjat pohon. bermain di pinggir sungai (karena saya tidak bisa berenang). atau sekedar menunggu duren jatuh milik orang. di tempat ini saya mulai mengenal arti kata rumah.
ketika saya pulang kembali ke bandung, kota ini terasa seperti sebuah kota besar yang menyesakkan buat saya. saya rindu kota kecil saya. saya rindu hutan. rindu sungai. rindu buah-buahan yang saya bisa peroleh gratis hanya dengan berteriak pada pemilik rumah dan memanjat sendiri. saya butuh waktu lama untuk bisa menyesuaikan kembali dengan bandung. dan saya mulai bahagia ketika saya mulai mengenal gunung. gunung-gunung yang mengitari kota bandung. mulai dari burangrang sampai manglayang. sedikit keluar dari bandung, ada papandayan, ada puntang. ada gede pangrango, yang kemudian saya kunjungi rutin seminggu sekali sebagai relawan.
dulu saya pejalan yang tidak suka mengeluh, juga tidak suka berencana. saya masih ingat perjalanan saya ke yogya pertama kali. di pagi hari, saya bilang kalau saya belum pernah ke yogya seumur hidup saya. dimalam harinya, saya sudah ada di kereta malam murah jurusan lempuyangan dengan berbekal puluhan ribu saja. dan itu menjadi salah satu perjalanan paling menyenangkan yang saya ingat. duduk di sambungan kereta berjam-jam, tidur beralaskan koran. mengenal tukang becak baik hati, tinggal di rumah teman, makan nasi kucing dan gudeg dari pagi sampai malam. pulang ketika sudah tidak punya uang, haha. atau ketika saya jalan-jalan ke banten selatan naik elf yang memuat dua tim sepakbola bersama anak-anak geologi menyusur pantai. perjalanan paling menakjubkan. supir elf yang jagoan karena duduk cuma sebelah pantatnya (pintu mobil dibuka dan sebelah pantatnya lagi dibiarkan menjadi teman angin) karena di depan dia menaikkan empat orang, di belakang dua puluh ditambah satu kesebelasan nangkring di atap elf. dan kita bicara kontur jalan seperti di puncak, cuma bedanya di sebelah kiri adalah jurang yang berbatas laut. pemandangannya sulit untuk saya deskripsikan, sampai sekarang.
manusia membuat perjalanan menjadi berbeda. membuat perjalanan jadi sulit dilupakan. dan saya selalu menemukan ketulusan di wajah manusia yang saya temui selama perjalanan, dan itu membahagiakan.
ketika saya mulai bekerja dan meninggalkan perjalanan 'ala sengsara', perjalanan saya didominasi perjalanan kantor yang berarti menginap dari satu hotel mahal ke hotel mahal lainnya, makan di tempat paling enak dan mahal, lalu malam akan berakhir dengan keriuhan yang tidak pernah henti di tempat clubbing. saya selalu jadi juru pemegang kunci mobil. karena saya tidak menyentuh tequila, cosmopolitan atau margarita. keriuhan yang berbeda. dan saya kemudian akan rindu perjalanan sengsara saya. saya kadang suka menyelinap. ketika di yogya. atau naik sepeda dari sheraton lombok ke mangsit. hanya untuk membiarkan angin menyentuh wajah saya atau berbincang dengan orang pertama yang tersenyum pada saya bukan karena keramahan yang dibayar seperti di hotel-hotel.
ketika saya sudah memiliki anak, perjalanan kemudian menjadi berbeda. karena pekerjaan, bianglala mulai ikut terbang dengan saya ketika umurnya enam bulan. dia mulai mengenal kenyamanan hotel berbintang. perjalanan untuk bianglala adalah hotel dengan channel disney, kolam renang, bath-tub besar dan teh hangat yang disediakan di kamar. ketika saya sudah tidak bekerja dan ingin mengajak bianglala jalan-jalan, saya harus bekerja keras untuk membuat bianglala nyaman di perjalanan karena standar dia memang sudah tinggi. lalu perjalananpun menjadi sebuah perencanaan panjang. tidak ada lagi spontanitas.
ketika minggu ini saya disibukkan dengan rencana perjalanan kami berempat ke negara lain, saya tiba-tiba mengenang kembali perjalanan-perjalanan yang pernah saya lakukan. ketika sendiri, saya tidaklah terlalu high maintenance. saya bisa tidur dimana saja, makan apa saja. saya jarang sekali mengomel. ketika bersama keluarga, saya berbeda. saya bahkan tidak berani memacu jetski saya kencang-kencang karena saya khawatir apa yang akan terjadi dengan bianglala kalau saya tidak ada. dulu, saya naik jetski seperti orang gila. saya tidak berubah. hanya saja, keluarga memunculkan dimensi lain dari diri saya.
dan sebagai seorang cancer sejati, perjalanan selalu membuat saya rindu rumah. dan menyadarkan saya, bahwa fitrahnya, manusia itu berada di dalam kesendirian. pertemuan dan perpisahan adalah keniscayaan. absurd-nya keniscayaan itu yang membuat saya terus berjalan.
Mon enfant! I give you my hand!
I give you my love, more precious than money,
I give you myself, before preaching or law;
Will you give me yourself? will you come travel with me?
Shall we stick by each other as long as we live?
-song of the open road, walt whitman-
It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.
perjalanan saya yang pertama dahulu adalah ketika ayah saya pindah bekerja ke sebuah kota kecil di tengah hutan sumatra, tanjung enim. satu hari satu malam naik bis malam yang dikemudikan seperti orang gila. beberapa hiburan yang ditemukan hanyalah ketika turun di pelabuhan merak naik kapal laut, atau berhenti makan di rumah makan padang yang entah kenapa memiliki kemampuan untuk sprung out of nowhere.
dari situ saya mulai mencintai pelabuhan. pelabuhan seperti sebuah akhir perjalanan, walaupun sebenarnya dari pelabuhanlah perjalanan lain dimulai. dan saya mulai mengagumi orang padang, yang bisa menghadirkan rendang di tengah hutan.
di tanjung enim yang kecil dan dialiri sungai, saya naik sepeda kemana-mana, atau berjalan kaki. perjalanan kecil saya setiap hari adalah perjalanan pergi dan pulang ke sekolah yang bisa makan waktu sampai dua jam. naik angkutan umum yang disambung jalan kaki. tidak ada keluhan karena saya berjalan bersama anak-anak lain, menyusuri rel kereta api tua yang sudah tidak terpakai. sebagian teman saya, ketika pulang sekolah, memilih untuk menceburkan badan mereka ke sungai sebelum pulang ke rumah. saya beruntung karena ayah saya bukan petinggi yang tinggal di kawasan steril. saya bisa memanjat pohon. bermain di pinggir sungai (karena saya tidak bisa berenang). atau sekedar menunggu duren jatuh milik orang. di tempat ini saya mulai mengenal arti kata rumah.
ketika saya pulang kembali ke bandung, kota ini terasa seperti sebuah kota besar yang menyesakkan buat saya. saya rindu kota kecil saya. saya rindu hutan. rindu sungai. rindu buah-buahan yang saya bisa peroleh gratis hanya dengan berteriak pada pemilik rumah dan memanjat sendiri. saya butuh waktu lama untuk bisa menyesuaikan kembali dengan bandung. dan saya mulai bahagia ketika saya mulai mengenal gunung. gunung-gunung yang mengitari kota bandung. mulai dari burangrang sampai manglayang. sedikit keluar dari bandung, ada papandayan, ada puntang. ada gede pangrango, yang kemudian saya kunjungi rutin seminggu sekali sebagai relawan.
dulu saya pejalan yang tidak suka mengeluh, juga tidak suka berencana. saya masih ingat perjalanan saya ke yogya pertama kali. di pagi hari, saya bilang kalau saya belum pernah ke yogya seumur hidup saya. dimalam harinya, saya sudah ada di kereta malam murah jurusan lempuyangan dengan berbekal puluhan ribu saja. dan itu menjadi salah satu perjalanan paling menyenangkan yang saya ingat. duduk di sambungan kereta berjam-jam, tidur beralaskan koran. mengenal tukang becak baik hati, tinggal di rumah teman, makan nasi kucing dan gudeg dari pagi sampai malam. pulang ketika sudah tidak punya uang, haha. atau ketika saya jalan-jalan ke banten selatan naik elf yang memuat dua tim sepakbola bersama anak-anak geologi menyusur pantai. perjalanan paling menakjubkan. supir elf yang jagoan karena duduk cuma sebelah pantatnya (pintu mobil dibuka dan sebelah pantatnya lagi dibiarkan menjadi teman angin) karena di depan dia menaikkan empat orang, di belakang dua puluh ditambah satu kesebelasan nangkring di atap elf. dan kita bicara kontur jalan seperti di puncak, cuma bedanya di sebelah kiri adalah jurang yang berbatas laut. pemandangannya sulit untuk saya deskripsikan, sampai sekarang.
manusia membuat perjalanan menjadi berbeda. membuat perjalanan jadi sulit dilupakan. dan saya selalu menemukan ketulusan di wajah manusia yang saya temui selama perjalanan, dan itu membahagiakan.
ketika saya mulai bekerja dan meninggalkan perjalanan 'ala sengsara', perjalanan saya didominasi perjalanan kantor yang berarti menginap dari satu hotel mahal ke hotel mahal lainnya, makan di tempat paling enak dan mahal, lalu malam akan berakhir dengan keriuhan yang tidak pernah henti di tempat clubbing. saya selalu jadi juru pemegang kunci mobil. karena saya tidak menyentuh tequila, cosmopolitan atau margarita. keriuhan yang berbeda. dan saya kemudian akan rindu perjalanan sengsara saya. saya kadang suka menyelinap. ketika di yogya. atau naik sepeda dari sheraton lombok ke mangsit. hanya untuk membiarkan angin menyentuh wajah saya atau berbincang dengan orang pertama yang tersenyum pada saya bukan karena keramahan yang dibayar seperti di hotel-hotel.
ketika saya sudah memiliki anak, perjalanan kemudian menjadi berbeda. karena pekerjaan, bianglala mulai ikut terbang dengan saya ketika umurnya enam bulan. dia mulai mengenal kenyamanan hotel berbintang. perjalanan untuk bianglala adalah hotel dengan channel disney, kolam renang, bath-tub besar dan teh hangat yang disediakan di kamar. ketika saya sudah tidak bekerja dan ingin mengajak bianglala jalan-jalan, saya harus bekerja keras untuk membuat bianglala nyaman di perjalanan karena standar dia memang sudah tinggi. lalu perjalananpun menjadi sebuah perencanaan panjang. tidak ada lagi spontanitas.
ketika minggu ini saya disibukkan dengan rencana perjalanan kami berempat ke negara lain, saya tiba-tiba mengenang kembali perjalanan-perjalanan yang pernah saya lakukan. ketika sendiri, saya tidaklah terlalu high maintenance. saya bisa tidur dimana saja, makan apa saja. saya jarang sekali mengomel. ketika bersama keluarga, saya berbeda. saya bahkan tidak berani memacu jetski saya kencang-kencang karena saya khawatir apa yang akan terjadi dengan bianglala kalau saya tidak ada. dulu, saya naik jetski seperti orang gila. saya tidak berubah. hanya saja, keluarga memunculkan dimensi lain dari diri saya.
dan sebagai seorang cancer sejati, perjalanan selalu membuat saya rindu rumah. dan menyadarkan saya, bahwa fitrahnya, manusia itu berada di dalam kesendirian. pertemuan dan perpisahan adalah keniscayaan. absurd-nya keniscayaan itu yang membuat saya terus berjalan.
Mon enfant! I give you my hand!
I give you my love, more precious than money,
I give you myself, before preaching or law;
Will you give me yourself? will you come travel with me?
Shall we stick by each other as long as we live?
-song of the open road, walt whitman-
hiks..
ReplyDelete*cuma bisa nulis itu.hehe...really really nice post.
makasih nina...saya sedang rindu perjalanan :D
ReplyDelete