Ephesus, Izmir, Turki

 “I've learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.” Maya Angelou
Ephesus adalah tujuan utama saya (saya, karena suami dan anak-anak cuma nurutin saya aja) di provinsi Izmir ini. Berjarak beberapa kilo saja dari kota kecil Selçuk, kami berangkat menuju Ephesus menggunakan kereta dari stasiun Basmane, Izmir. Kereta yang kami pergunakan baru, nyaman dengan pendingin ruangan, dan hanya sekitar 4,5 Lira (sekitar kurang lebih 30 ribu rupiah saja) per orang untuk perjalanan kurang lebih satu jam setengah (anak di bawah enam tahun gratis). Kereta berangkat dari Basmane kosong, hanya ada beberapa orang saja di gerbong yang kami tempati, namun di perjalanan mulai banyak orang yang naik hingga di tengah jalan, kereta penuh dan sebagian orang berdiri. 

Seperti lazimnya orang Turki, mereka penuh senyum, menyapa kami walaupun kesulitan berbahasa. Saya memperhatikan, semakin ke pedesaan (pedalaman), perempuan yang mengenakan penutup kepala semakin banyak. Tapi sebagian besar dari mereka bepergian sendiri, atau bepergian bersama anak dan ibunya. 


Di Kereta (Bianglala)
Kereta berhenti di Selcuk, kota kecil dekat dengan Ephesus. Guide kami, Oktaf, sudah menunggu. Hari itu, bulan Ramadhan, Oktaf mengamati jilbab saya dan bertanya apakah saya Muslim yang taat. Saya menjawab, 'Saya Muslim, dan saya menghargai privasi orang lain dalam soal agama.' Oktaf tertawa, berkata, 'Saya, kami, orang Turki, are lazy muslims,' lalu mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya. 'Puasa buat saya yang berjalan di panas terik Ephesus itu sulit.' Saya mengangguk, tidak hendak menghakiminya. Mengeluarkan botol minum saya juga. Saya sedang tidak berpuasa.

Oktaf, Guide Kami
Tur kami pagi itu lebih mirip tur privat karena ternyata cuma kami yang daftar ikut tur di Senin pagi itu. Beruntung, karena jika ada orang lain yang ikut, saya khawatir akan membuat rombongan menjadi lambat karena anak-anak, terutama Azzam, langkahnya tentu lebih pendek dari orang dewasa. 

Dengan taksi kami beranjak menuju Temple of Artemis. Bianglala, sebelum kami berangkat ke Turki, sudah saya suguhi buku-buku tentang Turki. Saya juga memberinya sedikit pengetahuan tentang mitologi Yunani. Ketika kami sampai di Temple of Artemis dan Oktaf memberi penjelasan, Bianglala seperti biasa menjadi orang yang paling khusyuk mendengarkan. 


Temple of Artemis sendiri, salah satu dari Seven Ancient Wonders of the World, seperti yang disebutkan oleh Antipater dalam catatannya:
"I have gazed on the walls of impregnable Babylon along which chariots may race, and on the Zeus by the banks of the Alpheus, I have seen the hanging gardens, and the Colossus of the Helios, the great man-made mountains of the lofty pyramids, and the gigantic tomb of Mausolus; but when I saw the sacred house of Artemis that towers to the clouds, the others were placed in the shade, for the sun himself has never looked upon its equal outside Olympus"
di luar dugaan - karena banyak sekali yang merekomendasikan untuk datang ke tempat ini sebelum ke Ephesus sehingga saya berpikir tempat ini pasti mengesankan - hanya merupakan lapangan dengan sebagian lahannya tergenang air dan sebagian lagi ditempati bebek-bebek yang berjalan berlompatan ke sana ke mari. Batu-batu tergeletak di sana-sini, tidak terlalu banyak. Sebuah kolom ditegakkan tinggi ke udara. Menurut Oktaf, kolom ini menunjukkan tingginya Temple of Artemis dahulu. Sisanya, Oktaf mengangkat bahu. Ketika sungai yang mengalir dari muara laut mampat, Temple of Artemis ditinggalkan orang sebagai kuil pemujaan dan orang-orang beralih ke Ephesus, yang pada saat itu, lebih dekat ke laut. Kemudian kuil itu dihancurkan dan dibakar oleh orang-orang Goth, dan sedikit demi sedikit, batu-batu yang menopang kuil ini diangkut satu demi satu untuk bahan bangunan di tempat lain. Konon kabarnya, batu-batu yang menyangga Aya Sofya (Hagia Sophia), juga bangunan-bangunan lain di Istanbul, sebagian besar berasal dari Temple of Artemis ini.


Yang tersisa dari Temple of Artemis
Gambaran Temple of Artemis dahulu di Museum Ephesus
Satu Kolom yang Tersisa
Dari Temple of Artemis ini kami bergerak menuju Ephesus, masih menggunakan taksi yang setia menunggu kami. Di dekat pintu masuk Ephesus, saya membeli minum, karena menurut Oktaf, di dalam tidak ada toko, juga tidak ada tempat buang air (suami saya memutuskan untuk ke kamar mandi dulu). Anak saya, Bianglala, kolektor segala sesuatu, tertarik dengan uang jaman dahulu yang dipungut para pedagang dari situs kota Ephesus. Suami saya membelikan uang kuno tersebut untuk Bianglala, kemudian dia dan Oktaf terlibat dalam perdebatan apakah gambar yang ada di uang kuno itu gambar orang atau binatang. Saya hanya tertawa.

Jam sepuluh pagi, matahari Ephesus sudah terik menyengat. Bianglala mengenakan topinya, juga Azzam. Menurut Oktaf, perjalanan akan makan waktu sekitar dua sampai tiga jam, di tengah terik matahari. Saya berdoa mudah-mudahan anak-anak saya tidak mogok di tengah jalan. Untuk memberi kegiatan, satu kamera saya serahkan pada Bianglala, seperti biasa. Azzam, kali ini sudah cukup besar dibandingkan perjalanan kami sebelumnya, meminta telepon genggam saya. Dia juga ingin mengabadikan Ephesus.


Ephesus adalah kota tua Yunani (juga Romawi) yang pada jaman kejayaannya ditinggali kurang lebih 250 ribu jiwa, menjadikannya salah satu kota paling besar di Mediterania pada saat itu. Kota ini hancur ditelan gempa bumi, dan kini pemerintah Turki sedang melakukan restorasi besar-besaran untuk mengembalikan penampakan Ephesus seperti pada masa kejayaannya. Pada saat kami datang, di bulan Agustus 2012, beberapa bangunan sedang direstorasi dan beberapa sudah selesai, seperti public bath, amphiteater, juga fasad depan Library of Ephesus. Pemerintah Turki juga -menurut Oktaf- sedang menggali bukit-bukit yang berada mengelilingi kota tua Ephesus karena banyak bangunan yang tersembunyi di bawah bukit itu karena gempa bumi.


Kami di Ephesus
Kucing Liar, pemandangan biasa di Turki
360 degrees view of Ephesus
The Goddess of Nike
Public Toilet :D
Ephesus' Long and Hot Walk
Library of Ephesus
The Amazing Kids
Perjalanan selama kurang lebih dua jam menyenangkan. Bianglala tidak mengeluh capek sedikitpun, padahal dia biasanya amat anti berjalan kaki (satu yang saya pelajari dari Bianglala, buatlah dia tertarik. Ketertarikan akan mengalahkan rasa capai, dan membuat anak-anak berhenti mengeluh). Bianglala sibuk mendengarkan Oktaf, cerita tentang para dewa-dewi Yunani, kemudian orang-orang Yunani dan Romawi pada masa itu, penginjil pertama di Ephesus (Gospel of John kabarnya dibuat di kota ini. John the Apostle sendiri tinggal di Ephesus hingga meninggalnya), dan lain-lain. Kamera di tangannya tidak berhenti dipergunakan. Azzam - yang saya curiga sedikit bingung kenapa dia harus datang ke tempat ini - juga bersikap amat hebat. Hanya sebentar-sebentar saja digendong, selebihnya berjalan. Dia senang mengikuti kakaknya naik turun batu-batu, memotret sana-sini, kemudian minum ketika kelelahan. Saya, yang menyeret semua orang ke tempat ini, tentu saja menandak-nandak gembira. Ternyata anak-anak saya bisa saya bawa ke tempat yang bisa dikategorikan tidak child friendly, selama dua jam di bawah matahari yang menyengat (i know, i am a bad mother :D).

Selepas dari Ephesus, Oktaf membawa kami ke Museum Arkeologi Ephesus di Selcuk. Di sini, Azzam mengamuk, sudah lapar dan kelelahan rupanya. Saya memotong acara ke museum tersebut, membiarkan Bianglala (yang masih penuh dengan antusiasme) bersama ayahnya menjejahi museum sementara saya dan Azzam beristirahat menunggu di pintu keluar. Seperti biasa, Bianglala menginginkan suvenir dari museum. Kali ini, kami membeli mosaik, dan Bianglala membeli gelang blue eyes (untuk keberuntungan, kata Oktaf).


Goddess Artemis (Diana di mitologi Romawi)
Dari museum kami berjalan ke kantor Oktaf. Si orang Inggris pemilik tur sudah menunggu. Setelah membayar biaya tur, si orang Inggris bertanya soal kesan-kesan kami, kemudian menyuguhkan Turkish delicacy (biasanya dimakan bersama kopi Turki yang kesohor) dan Oktaf membekali kami dengan berbagai ragam blue eyes gratis (evil eyes menurut wikipedia, namun Oktaf berkeras bahwa namanya blue eyes. Orang Turki menaruh blue eyes ini di rumah mereka, memakainya sebagai perhiasan, seperti orang-orang Yunani memasang wajah Medusa di bangunan mereka, konon kabarnya untuk menolak bala). Si orang Turki pemilik tur juga memberikan beberapa tips ketika tahu bahwa kami akan berangkat ke Cappadocia keesokan harinya, juga merekomendasikan satu tempat makan siang di Selcuk sebelum kami kembali ke Izmir menggunakan kereta lagi. Bersalaman, kami tidak lupa memberi tips untuk Oktaf, Oktaf mengantar kami hingga ke jalan dengan wajah sumringah.'Kamu bisa add saya di Facebook!' Ucapnya riang. Kami mengangguk. Melambaikan tangan.


Blue Eyes hadiah dari Oktaf
Setelah kesulitan mencari, akhirnya restoran kecil Ejder yang direkomendasikan si orang Inggris berhasil kami temukan. Tampaknya pemilik (atau pelayan) sudah menunggu (kelihatannya bisnis-bisnis di Turki ini berjalan berdasarkan jejaring rekomendasi). Kami duduk di bagian luar restoran, menghadap ke jalan. Di dinding restoran mungil ini,  terpampang tulisan besar-besar bahwa restoran ini direkomendasikan oleh Lonely Planet dan di bawahnya tandatangan orang-orang yang pernah berkunjung dan makan di restoran ini. Sepasang turis muda sudah duduk terlebih dahulu di sebelah kami. Dari bahasa yang mereka pergunakan, kami bisa menebak bahwa mereka orang Belanda (untuk negara yang hanya berpenduduk kurang lebih enam juta orang, orang Belanda itu ada di mana-mana. Di semua tempat yang pernah saya datangi, saya selalu bertemu orang Belanda!). Restoran-restoran yang berjejer di sebelah restoran Ejder tampak sepi. Hanya ada satu kursi terisi berisi bapak-bapak yang sedang bermain entah apa, ngobrol sambil minum teh (pemandangan ini akan menjadi pemandangan yang rutin di Turki bagi kami). 

Restoran Ejder
Adana Kebap
Pizza khas Turki (Lahmacun)
Chicken Kebap
Bapak-bapak yang nongkrong di Resto sebelah
Saya memesan Adana kebap. Anak-anak memesan pizza khas Turki. Suami saya yang kelelahan mengarungi Ephesus memutuskan untuk berbuka puasa dan memesan chicken kebap. Lelaki tinggi besar penuh tato yang melayani kami ternyata amat sopan dan amat ramah kepada anak-anak. Dia memberikan dua buah apel gratis kepada kami, dan menjanjikan kopi Turki yang legendaris setelah kami selesai makan. Agak lama, makanan baru datang, tapi ternyata sama sekali tidak mengecewakan. Restoran ini menurut saya restoran paling enak yang pernah saya datangi di Turki. Kebap-nya out of this world! Sayang kami harus mengejar kereta kembali ke Izmir (kereta selanjutnya terlalu malam sementara kami harus berangkat subuh ke Cappadocia). Tawaran kopi Turki gratis dari pemilik restoran pun terpaksa kami lewatkan. Kecewa, si pemilik restoran yang tampaknya sudah menyiapkan kopi, membekali kami dengan buah-buahan yang lain, mengelus kepala anak-anak saya, kemudian berpesan,'Come back soon!' 

Sekali lagi orang Turki membuktikan, bahwa sebuah tempat menjadi hangat dalam ingatan bukan hanya karena keindahan atau situsnya yang menarik, tapi juga karena orang-orangnya. I hope to come back soon, indeed. 

Comments

Popular Posts