Cappadocia, Turki

“In a Wonderland they lie, Dreaming as the days go by, Dreaming as the summers die: 
Ever drifting down the stream- Lingering in the golden gleam- Life, what is it but a dream?”  - Lewis Carroll
Subuh belum lagi datang ketika taksi yang hendak membawa kami ke bandara muncul di depan hotel. Resepsionis Hotel Mini, hotel tempat kami menginap, tergopoh membantu suami membawakan koper sementara saya menggendong Azzam yang masih terlelap. Bianglala menyeret langkahnya dengan mata yang setengah terbuka.

Sopir taksi yang ramah berusaha membuka pembicaraan walaupun tampaknya hanya sepotong saja dia mengerti bahasa Inggris. Lagu menghentak dari tape mobilnya. Jika saya tidak salah mengerti, tampaknya itu lagu yang sedang hit di Turki. Berbahasa Arab, beat-nya lebih mirip lagu disko yang sering saya dengar di radio Belanda. Entah siapa yang mempengaruhi siapa, saya memperhatikan si sopir taksi yang ramah ini mengendarai mobilnya seperti di lantai dansa. Menghentak. Seringkali mengagetkan saya yang masih setengah mengantuk. Ketika dia menanyakan negara asal saya, dan sayapun menyebutkan Indonesia, keningnya berkerut. Tapi tidak berapa lama, karena kemudian dia setengah berteriak dengan eureka moment jelas tampak di wajahnya. "Tsunami!" Dia berucap yakin.

Saya dan suami berpandang-pandangan lalu mengangguk pasrah. Yeah, we're Indonesian. With THAT Tsunami fame.

Penerbangan dari bandara Adnan Menderes di Izmir ke bandara Kayseri di Cappadocia makan waktu kurang lebih sejam. Tidak seperti bandara Adnan Menderes yang super modern, Kayseri mungil dan tampak minimalis. Di luar bandara, kami harus menunggu hingga mobil jemputan kami datang. Shuttle bus mentereng dengan merek Mercedes Benz, pengemudinya lelaki Turki muda dengan dandanan lebih mirip agen CIA di televisi dibandingkan pengemudi shuttle bus. Di shuttle bus, tulisan 'Free Wi-Fi' sudah cukup untuk membuat saya bahagia. Saya, fakir Wi-Fi yang kecanduan social media.

Kota kecil Goreme berjarak sekitar satu jam setengah dari bandara. Pemandangan di sepanjang jalan saja rasanya cukup untuk jadi alasan untuk berkunjung ke Turki. Pemandangan kota-kota yang sedikit lusuh dimakan usia bergantian dengan bukit hijau subur, hingga dekat ke Goreme, saya mulai melihat sesuatu yang berbeda, batu-batu seperti menhir raksasa berlomba-lomba muncul dari atas tanah menciptakan pemandangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Saya menahan nafas selama yang saya bisa. Mungkin hanya beberapa detik. Seisi mobil, kecuali saya dan sopir yang mirip agen CIA, semua tenang dalam tidur. Saya ingin membangunkan mereka, mengguncangkan tubuh mereka. "Bangun, kita sudah sampai! Atau tersesat!" Di kepala saya berlompatan berbagai ide. Mungkin inilah negeri ajaib dimana Alice masuk ke dalam lubang kelinci. Atau di sini Obelix tinggal dengan bahagia, dikelilingi menhir beribu-ribu jumlahnya. Saya menyimpan semuanya di kepala. Wajah-wajah di samping saya masih tertidur dalam damai sampai kami sampai di kota kecil bernama Goreme. Dan semua terbangun ketika sampai. Seperti dibangunkan oleh alarm tak kelihatan. Atau sebenarnya sopir menghipnotis semua - kecuali saya - dan membangunkan mereka ketika tiba. Saya percaya yang kedua. Agen CIA bisa melakukan apa saja.

Kami datang terlalu pagi di penginapan kami tiga hari itu di Cappadocia. Kamar belum siap. Ismail, pengelola penginapan, menyambut kami dengan ramah. Tidak seperti hotel yang selalu berhitung atas pelayanannya, mereka royal dengan freebies. Sarapan diberikan gratis pada saya dan anak-anak yang tidak berpuasa sementara kami menunggu kamar selesai dibersihkan. Keju rumahan, madu liar, roti dan selai bikinan sendiri mengisi perut saya pagi itu. Bianglala dengan wajah terbelalak tak percaya, bahwa seperti manusia purbakala, dia juga akan menginap di gua.

Ya, hotel yang akan kami tempati sebagian kamarnya merupakan gua. Gua-gua alami yang ditempati penduduk Goreme dari masa ke masa, dan kini sebagian disulap untuk dijadikan penginapan bagi para pelancong.

Ketika akhirnya kamar kami siap, Bianglala, juga Azzam, yang bergegas paling depan. Di dalam kamar lebih sejuk dibandingkan cuaca di luar yang menyengat. Matahari Cappadocia di bulan Agustus tidak kenal ampun. Alih-alih menjelajah kota, kami berempat malah tidur, membayar tidur tadi malam yang terganggu oleh acara pergi ke bandara di pagi buta.

Di sore hari, Goreme Open Museum menjadi tujuan kami berempat. Ramazan, pemilik penginapan - dengan keramahan ala Turki yang meluap-luap - menyuruh adiknya (yang kali ini mirip pemain film Korea) membawa kendaraan dan membawa kami ke sana, yang hanya berjarak sepuluh menit saja dengan mobil dari penginapan. Tidak lupa Ramazan juga memberikan nomor telponnya. "Kalau kamu sudah selesai di sana, telpon saya. Kami akan menjemput kamu.' Semua gratis. Mungkin bagian dari layanan hotel. Tapi sebagai orang Indonesia yang enggan merepotkan, kami kemudian memutuskan pulang naik taksi dan tidak menelpon Ramazan. Ketika tahu, dia mengomeli kami panjang lebar.

Goreme Open Museum adalah tempat yang menyenangkan. Saya baru tahu bahwa museum tidak melulu harus berada di dalam ruangan. Jika Wikipedia bisa dipercaya, menurutnya, orang Turki punya banyak Open Museum. Di Goreme Open Museum, menjadi pusat perhatian adalah gua-gua yang dahulu dihuni manusia yang katanya melarikan diri (tidak jelas dari siapa, akan tetapi cerita soal manusia yang melarikan diri dari musuhnya ini akan muncul banyak di Cappadocia, seperti sebuah benang merah yang menyatukan daerah ini). Ada gua-gua minimalis tanpa hiasan, ada gua dengan pemandangan spektakuler, a room with a view, juga ada gua yang dijadikan gereja dengan atap yang dilukis menyerupai Kapel Sistine di Vatikan sana. Versi sederhana, tentunya. Gua-gua ini berada di dalam batu-batu menhir raksasa (saya tidak bisa tidak membayangkan Obelix ketika menyebut kata menhir) yang menyeruak keluar dari dalam tanah seperti jamur di musim hujan. Mungkin, beginilah surga menurut para pecinta bebatuan.

Makan malam kami lakukan di sebuah restoran sederhana dekat penginapan. Layaknya orang Turki pada umumnya, selain senyum yang berlimpah-limpah, anak-anak juga menjadi target utama untuk diberi hadiah. Nenek pemilik restoran menghadiahi anak saya Pide (roti khas Turki) ukuran mini yang rasanya luar biasa. Kemudian, ketika mengetahui bahwa suami saya berpuasa, semangkuk kurma segar segera menyusul, kemudian bubur yoghurt yang konon secara tradisional merupakan menu berbuka puasa. Semua gratis, tanpa harus membayar. Manajer restoran tidak mengerutkan keningnya ketika anak-anak bermain-main di seputaran restoran, dia malah tampak bahagia. Seperti biasa, Azzam selalu punya kharisma terhadap pelayan perempuan. Mereka semua bolak-balik mencubit, mengganggu dan menghadiahi kata-kata seperti "Saya suka kamu!"  yang dijawab Azzam dengan wajah bingung dan teriakan, "Nee!" (Tidak dalam bahasa Belanda).

Hari kedua kami menyewa kendaraan dan suami menyetir sendiri mengelilingi Cappadocia. Pemandangan demi pemandangan ajaib disuguhkan pada kami. Seperti biasa, saya menyeret anak-anak pergi ke tempat yang tak biasa untuk anak-anak, kota bawah tanah Kaymakli. Seperti biasa pula, anak-anak saya mengejutkan saya dengan menyukainya. Ide kota tersembunyi, gelap, penuh lorong seperti labirin yang kadang harus diarungi dengan merangkak rupanya sebuah petualangan yang disukai anak-anak. Kota bawah tanah ini yang dilengkapi mulai dari winery, gereja, hingga area pemakaman dahulu katanya ditempati oleh hampir 3500 orang yang juga melarikan diri dari musuhnya. Mengagumkan betapa keterdesakan hidup menciptakan kreativitas yang kemudian dikagumi oleh generasi-generasi sesudahnya. Kami juga sempat mampir di Ihlara Valley, lembah hijau sejenis Green Canyon di Garut yang membentang panjang berkilo-kilometer. Di sebagian dinding Ihlara Valley ada gua-gua yang lagi-lagi, dahulu ditempati orang-orang yang melarikan diri. Di balik bentang alam Cappadocia yang elok, cerita manusia yang menghuninya adalah cerita orang-orang yang berusaha bertahan hidup dari kekejaman manusia lainnya. Sebuah cerita yang masih sering dinyanyikan hingga saat ini.

Hari ketiga, di subuh suami dan Bianglala naik balon. Saya yang takut ketinggian menolak, Azzam juga. Jadilah kami hanya menonton saja dari balik jendela sembari berdoa untuk mereka yang ada di atas sana. Di pagi hari, langit Goreme indah oleh balon yang berwarna. Menuju siang, mereka pulang, dan Bianglala, anak saya yang pemberani bercerita kalau dia naik balon bernama Rainbow, seperti namanya, dan dia sempat kebosanan di atas sana.

Sore hari kami berkemas. Perjalanan belum selesai karena Istanbul menjadi tujuan selanjutnya. Bulan Ramadhan hampir selesai. Ismail melepas kami dengan wajah penuh sesal. Sebelumnya, dia membekali saya dengan berbagai macam minuman, juga souvenir dari penginapan. Semua gratis. Memeluk Azzam -yang sudah diakrabinya tiga hari- Ismail berkata, "Sampai bertemu lagi." Diam-diam, saya mengamininya.

Jika ada satu tempat yang harus didatangi di Turki, untuk saya, tempat itu adalah Cappadocia. Bentang alam yang indah berkelindan dengan kisah survival yang bisa menjadi inspirasi - ketika jarak kita ratusan hingga ribuan tahun jauhnya dan sisa-sisa darah tak kelihatan. Dan seperti sebelum-sebelumnya, senyum lebar dan tangan terbuka orang Turki adalah daya tarik utama. Lebih dari lain. Dan mungkin, dengan kombinasi keramahan, cerita masa lalu dan bentang alam yang mengagumkan, kita bisa menenggelamkan kepala, sejenak melupakan dunia yang juga masih penuh dengan cerita perjuangan manusia melawan kekejaman sesamanya, melompat dalam lubang seperti Alice, dan bergumam, Life, what is it but a dream....

Goreme Open Air Museum

The Dark Church in Goreme Open Air Museum

Cappadocia Regular View

Morning in Goreme

My Girl With The Rainbow Balloon

Gozleme Making

The Fairy Tale Chimney

Another Part of Cappadocia

The Menhir Houses

Us in Kaymakli Underground City

Comments

Popular Posts