On Death...




Without cause God gave us being;
without cause, take it back again.

Jalaluddin Rumi


Kematian adalah sebuah tema yang secara konstan menggangguku, menakutiku. Sebuah kerikil di dalam sepatu.
Aku ingat, bertahun-tahun yang lalu, aku menangis setelah membaca Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Bukan karena ikut merasakan penderitaan Srintil. Tapi karena buku itu mengingatkanku pada mati. Kegelisahan tiba-tiba bergulung-gulung. Aku tidak bisa tidur dibuatnya.

‘Bagaimana jika aku tidur dan tidak pernah bangun kembali?’

Orang-orang yang cukup dekat denganku pasti pernah merasakan suatu saat diganggu oleh pertanyaanku itu.
‘Apakah kamu pernah berpikir tentang mati? Apakah kamu takut? Apakah kamu pikir kamu akan masuk surga?’

Di suatu saat, di suatu waktu, seseorang yang kuganggu dengan pertanyaan itu akan tertawa pelan di seberang telpon, diam sejenak, lalu berkata.’Kamu tidur sekarang. Hari sudah malam.’

Dan aku berkata padanya,’Tapi saya takut. Bolehkah saya mendengar suara kamu sampai saya tertidur sehingga saya tahu bahwa saya tidak sendiri?’

Dan dia akan tertawa, tersenyum tepatnya.’Apa yang harus saya lakukan?

‘Berceritalah. Dan berjanjilah bahwa kamu tidak akan mati sebelum saya.’

Dan dia bercerita, juga berjanji. Walau dia tahu persis bahwa dia tidak akan menepati janjinya itu.

‘Saya tidak yakin saya punya banyak waktu.’ Kata-kata itu akan selalu diulangnya. Dan aku selalu menolak untuk mendengarkannya. Menolak untuk mempercayainya.

Ketika kematian datang pada orang lain, aku menjaga jarak. Kematian seperti penyakit menular yang membuatku harus berhati-hati. Ketika kematian datang pada orang lain, diam-diam aku bersyukur karena bukan aku. Bukan orang-orang tercintaku.

Aku tidak pernah menangis pada sebuah kematian.

Lalu tiba-tiba saja, kematian datang dan mengakrabkan dirinya padaku. Bukan aku. Dia. Seseorang, yang di suatu saat, di suatu waktu, aku pernah memaksanya berjanji bahwa dia tidak akan mati sebelum aku.

Aku baru sadar, minggu-minggu sebelumnya mimpi-mimpi kematian itu menggangguku lagi. Dan aku tidak pernah berpikir bahwa dia, bukan aku, yang akan mengalaminya.

Aku berusaha keras untuk mencerna. Memaknai. Kubaca Rumi. Ketika Syams meninggal Rumi kehilangan separuh jiwanya, tapi lalu Rumi menemukan Syams dimana-mana.

Kubaca Annie Proulx, yang berkata, hati kita selalu memiliki harapannya. Walau kematian seperti sebuah tato yang ditorehkan jarum pada hati kita. We will never fully recovered.

Kubaca Kang Jalal yang bercerita tentang surga dan neraka, yang entah kenapa membuatku sedikit tenang. Karena dia membuat surga dan neraka terlihat tidak begitu menakutkan.

Kubaca Milan Kundera yang menulis banyak mengenai kematian pada bukunya ‘Immortality’ dan ‘The Unbearable Lightness of Being’ yang kemudian malah membuatku semakin banyak bertanya-tanya karena Kundera juga banyak bertanya. Apakah ada wajah di dunia sana? Apakah kita ingin berkumpul lagi dengan orang yang kita kenal di dunia sana?

Membaca Jostein Gaarder dan Gadis Jeruk-nya. Membaca pertanyaan itu, apakah ketika kita tahu bahwa kita akan dicerabut paksa dari kehidupan ini, kita akan memilih untuk tetap hidup, atau tidak pernah dilahirkan?

Sebuah pertanyaan yang menurutku tidak cukup berguna. Kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan, sehingga pilihan di atas adalah sebuah pilihan yang tidak mungkin. Kita sudah dilahirkan, dan kita akan dicerabut paksa dari kehidupan. Pertanyaan yang kemudian mengemuka di kepalaku adalah, akankah kita menyesali keberadaan kita atau tidak?

Kematian adalah awal dari keabadian kita. Kita lahir dua kali. Ketika kita lahir, dan ketika kita mati. Ketika kita lahir, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup amat rapuh dan bisa berhenti sewaktu-waktu. Kita diam-diam menginginkan keabadian pada kehidupan. Tapi siapa yang mau hidup selamanya? Apakah waktu akan menjadi berarti ketika kita memiliki selamanya sebagai waktu kita?

Ketika kita mati, kita lahir kembali menuju keabadian. Entah kenapa itu amat menakutkan. Mungkin karena bayangan bahwa kita akan selamanya menjadi, dan segala konsekuensi perbuatan kita akan dibayar lunas. Diam-diam, kita menginginkan bahwa ketika kita mati, mungkin kita bisa lahir lagi menjadi kupu-kupu. Atau untukku, kura-kura. Tanpa konsekuensi.

Mengapa kematian amat menakutkanku?
1. Karena kematian adalah sebuah titik tanpa kembali. Point of no return. Di gerbang ini, semuanya berakhir, atau berawal.
2. Karena kematian diselimuti kegelapan. Tidak ada orang yang pernah kembali dari kematian sehingga perjalanan menuju ke sana sepanjang sejarah manusia tetap diliputi kegelapan. Sesuatu yang kita tidak ketahui, akan kita takuti
3. Karena kematian menyadarkan manusia betapa rapuhnya kehidupan. Betapa kita tidak punya kemampuan untuk mencegah malaikat maut datang dan mencabut nyawa kita, walaupun kita Presiden Amerika atau kita punya uang di bank segudang. Kematian adalah perayaan kesamaan derajat kita di hadapan Tuhan.
4. Karena kematian mengingatkan manusia akan kesendiriannya. Bahwa fitrah manusia adalah sendiri. Dan sendiri identik dengan kesepian. Dan kesepian identik dengan penderitaan. Dan manusia tidak suka penderitaan.
5. Karena manusia lebih suka hidup. Ini statistik yang tidak melibatkan Van Gogh di dalamnya. Mengapa manusia lebih suka hidup? Itu pertanyaanku juga...

Mengapa kematian amat menakutkanku?

Kubaca angin, kubaca hujan, kubaca kemarau, kubaca kesedihan di raut wajah orang lain. Seperti Kala, aku ingin meminta madu dari sebuah rumah yang tidak pernah bersentuhan dengan kematian, dan aku gagal. Aku duduk, mencoba untuk mengerti dengan segala kegagapanku, ketidakrelaanku, rasa bersalah yang menghantuiku, kebencian, kemarahan, kesedihan…aku duduk dan mengaduk semua rasa di dadaku.

Kematian, yang dahulu menakutkanku, kini seperti sebuah lubang hitam yang menarik semua rasaku. Aku kini hampa. Sendiri.

Mengapa? Pertanyaan itu kini memenuhi udara.

Comments

Popular Posts