Blanco, Ubud, dan Sawah

 Tadi aku, suami, dan anak-anak pergi ke museum Blanco. Berkali-kali ke Ubud, aku belum pernah ke museum Blanco. Museum Blanco - dahulunya rumah Blanco - sepi di hari Minggu dengan lukisan-lukisan yang rapat satu sama lain dan penerangan yang sendu dan kurang seperti bar di malam hari. Akupun menjadi bosan dengan cepat. Lukisan Blanco terlihat tidak terlalu banyak berbeda satu sama lain, hanya piguranya yang extravaganza yang menarik perhatianku. Seekor kakaktua yang tidak dirantai tapi tidak juga terbang sibuk mengikuti suamiku sambil berteriak menyebut namanya sendiri, "Kakaktua, kakaktua". Pada anak laki-lakiku, aku menerangkan mengapa banyak sekali perempuan bertelanjang dada di lukisan Blanco. Menyinggung juga sedikit soal white savior complex, tapi aku rasa sedikit terlalu rumit untuk anak tiga belas tahun jadi aku simpan saja.

Dari museum Blanco kami bergerak ke House of Arie Smit. Ketika akan melihat lukisannya, seseorang memanggil menanyakan apakah kami akan makan minum di kafe sebelah. Tadinya tidak, tapi melihat kafenya yang sepi, akupun mengangguk. Saat seperti ini, aku dan suami bersepakat untuk selalu berbelanja. Untuk selalu membantu yang lain dengan sedikit rupiah yang kami punya. Sayangnya, baru satu menu kopi, mesin kopinya menolak bekerja, sehingga kamipun hanya membeli satu gelas kopi dan beranjak pergi.

Ubud sore itu, hujannya rintik dan tak ada petrichor yang menguap ke udara.


Di rumah yang kami sewa, aku duduk di depan beranda, menatap sawah yang menua dan seorang ibu tua berbekal sabit memanen rumput. Sawah menjadi pemandangan, menjadi properti berjualan villa yang kami sewa, sesuatu yang amat biasa terlihat di Ubud. Aku tak berani bertanya, seberapa untung sawah ini bagi pemiliknya, bagi buruhnya.


Comments

Popular Posts