One More Day

 Setiap pagi, di hari-hari sekarang, ketika aku membuka mata, yang ada di kepalaku adalah, "Ah, one more day". Di hari-hari ketika kabar buruk susul menyusul hadir - menyelusup di perangkat yang ada di tangan, di toa-toa mesjid, di suara sirine ambulans yang menggema di jalan - mampu bangun pagi dan menghirup segenap oksigen yang ada di sekitar dengan sepenuh paru adalah sebuah berkah. 

Tidak pernah terpikir bahwa di dalam hidupku aku akan melewati episode seperti dalam Sampar-nya Camus. Ketika membaca mengenai wabah Flu di tahun 1918, aku bertanya-tanya karena di masa itu banyak sekali penulis besar hidup dan melewati wabah flu, tapi kenapa sedikit sekali cerita mengenai wabah tersebut. Saat ini, lebih dari 100 tahun setelah wabah tersebut dan kita masih entah kenapa tak berdaya melawan flu, melihat horor yang terjadi hari demi hari yang menumpulkan rasa, aku rasa aku paham mengapa sedikit sekali fiksi yang muncul di tahun 1918 tersebut. Kenyataan lebih mengerikan dari fiksi.

Zadie Smith sempat menulis di awal pandemi. Kumpulan esai pendek yang penuh dengan pertanyaan. Tidak pernah menulis secara langsung mengenai pandemi, hanya bercerita tentang nuansa. 

Pertanyaan yang muncul di kepala melihat berita satu demi satu kawan meninggal adalah, apakah kita akan hidup melewati ini? Apakah semua ini ada ujungnya? Seperti apa ujungnya? Akupun mulai merindukan tempat-tempat yang pernah aku datangi, tempat-tempat yang belum pernah aku datangi. Aku masih berdiri, masih bisa menghirup oksigen. Orang lain mungkin sudah tidak. 

Comments

Post a Comment

Popular Posts