Solo, or the Parallel Life

“We can never know what to want, because, living only one life, we can neither compare it with our previous lives nor perfect it in our lives to come.” 
― Milan Kundera

Minggu lalu saya, suami, anak-anak, dan keluarga besar suami pergi ke Solo. Sragen lebih tepatnya. Menghadiri pernikahan salah satu keponakan. Ibu mertua saya merasa harus berangkat karena cucu yang akan menikah ini semacam long lost grandson-nya beliau. Dulu waktu kecil diurus setiap hari, ketika ayah dan ibunya kemudian bercerai, hubungan mereka memburuk, si anak dibawa ibunya pergi dan tidak pernah bertemu lagi hingga saat dewasa, waktu akan kuliah kalau tidak salah. Ibu mertua saya yang mencari karena kangen. Keponakan saya, cucu ibu mertua, saat pertama kali bertemu tidak mengingat siapapun lagi kecuali neneknya walaupun jarak dan waktu membuat  hubungannya menjadi sedikit kaku di awal. Dari situ tali silaturahmi dijalin kembali, hubungan membaik, terutama juga karena orangtua si cucu ini sudah memiliki kehidupan masing-masing, dan minggu lalu kami menghadiri pernikahan cucu kesayangan ibu mertua ini.

Di pernikahan, keharuan muncul terutama ketika ibu mertua dan mantan menantunya - ibu keponakan saya - kemudian bertangis-tangisan mengingat segala sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu, membuat saya berpikir, apakah jika kita tahu hasil dari perbuatan kita, apakah kita akan memilih jalan yang berbeda jika kita diberi kesempatan? Apakah penyesalan muncul karena kita berpikir hidup seharusnya berbeda ketika kita memilih jalan yang tidak sama dengan yang sudah kita pilih?

Solo, dan Pico Iyer, mengingatkan saya soal hal itu. Perjalanan naik kereta ke Solo membuat saya sempat membaca buku Pico Iyer, The Lady and the Monks, dan di dalamnya Pico bercerita tentang seorang perempuan Jepang yang hidup di dalam tatanan yang sudah digariskan, kemudian ketika bertemu Pico meluapkan kegelisahannya akan hal-hal yang mungkin bisa dia lakukan jika saja dia tidak ada di dalam tatanan kehidupan sosial yang mengungkungnya. Entah memang kegelisahannya sudah ada dan Pico hanya merupakan katup dari kegelisahan itu, saya rasa saya lebih percaya yang kedua. 

Cerita perempuan Jepang di dalam kisah perjalanan Pico ke Kyoto itu mengingatkan saya pada seorang teman lama, yang kebetulan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Solo. Sekitar dua tahun yang lalu dia menghubungi, setelah 26 tahun. Pembicaraan demi pembicaraan diawali dengan santai sampai akhirnya teman ini mengakui bahwa dia masih memendam perasaan. Setelah 26 tahun. Saya mengenalnya ketika masih SMP. Tidak juga mengenalnya dengan cukup baik karena kami dahulu hanya berbagi sepatah dua patah kata. Entah apa yang membuatnya terkesan. Dia bercerita tentang foto saya jaman dahulu kala yang masih disimpannya di rumah Bapaknya di Solo. Foto saya jaman SMP yang dia simpan seperti sebuah harta karun. Bercerita tentang malam-malamnya dahulu saat SMP, mendaki bukit tempat dia tinggal untuk bisa sampai ke puncak karena dari situ dia bisa melihat lampu perumahan di mana saya tinggal. Bagaimana dia kehilangan pegangan ketika suatu saat tiba-tiba Ibu saya memindahkan saya dari Sumatera ke Bandung tanpa memberi tahu siapapun, dan suatu pagi dia tidak bisa menemukan saya di sekolah dan tidak ada yang tahu saya kemana. I lost my will to live, begitu pengakuannya via telepon. So sad and sweet at the same times. Bagaimana setelahnya dia berusaha mencari saya - dengan cara yang dia tahu, dan masih memendam keinginan untuk bertemu. Hingga dua tahun lalu.

Saya dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa kehidupannya tidak bahagia. Dan pengakuan demi pengakuanpun meluncur dari mulutnya. Secara ekonomi teman saya ini stabil. Punya perusahaan sendiri dengan omset jutaan dolar setahun, naik mobil harga milyaran tapi kehidupannya kering. Saya tidak tahu sejauh mana pengakuannya benar, atau apa yang menyebabkan ketidakbahagiaannya. Tentunya istrinya tidak membuat dia bahagia, ini pengakuan semua laki-laki yang mencoba mencari kebahagiaan di luar istrinya. Saya menggugat bahwa bagaimana caranya istrinya bisa membuat dia bahagia jika dia terobsesi dengan perempuan lain, yang bisa jadi tidak nyata. Saya bilang, bahwa saya tumbuh menjadi manusia yang berbeda. Saya tidak lagi kecil mungil seperti saat SMP. Tidak pendiam dan tidak banyak bicara. Saya bukan anak SMP yang pernah dia suka. Saya orang yang berbeda. Dengan terbata-bata, teman saya berkata, 'Saya tidak peduli. I love you just the way you are. Dari dahulu kala'. Giliran saya yang terdiam. Kemudian, dengan kesenduan yang luar biasa, dia mengatakan, 'Kamu tahu tidak rasanya bertahan hidup hanya agar suatu saat bisa bertemu dengan kamu, dan sekarang menyadari bahwa kemungkinan besar bahkan bertemu pun saya tidak bisa. But i am happy that you are alive and well. Saya selalu berdoa untuk itu'. 

Datang ke Solo, mengingatkan saya pada kisah teman saya itu. Bagaimana dia bertempur dengan 'what if' demi 'what if' yang mengganggu kenyamanan hidupnya. Pada akhirnya, dia menyadari bahwa kehidupan yang dia miliki saat ini adalah yang terbaik yang dia punya, dan akhirnya memutuskan untuk mengubur saya dalam-dalam di dalam ingatannya.
Yang lucu, hampir bersamaan dengan munculnya teman lama saya, mantan pacar suamipun muncul di dalam kehidupan dia membawa lagu yang kurang lebih sama. Pertanyaan 'Kenapa kita dulu ga bisa (terus sampai menikah)' terus dia lontarkan pada suami. Usaha untuk mendekati suami dengan cara yang amat halus yang membuat saya bertanya-tanya tujuan perempuan ini apa (terutama karena dia juga sudah bersuami dan punya anak). Pada saya dia mengakui bahwa dia mencintai suami saya dan menginginkan suatu saat bisa hidup bersama karena sekarang dia tidak bisa hidup (bersama suami saya). Awalnya saya kesal dan marah, akan tetapi pada akhirnya saya merasa kasihan dan memahami, bahwa perempuan ini tidak bahagia dengan kehidupannya, dan tampaknya suami saya adalah pencapaian luar biasa dalam hidupnya and she needs to hold on to it to keep herself from drowning'. 

Apakah kita menyesali kehidupan yang kita punya, dengan segala kesalahan dan kebodohan yang pernah kita lakukan? Because i don't. Karena kita tidak akan pernah punya kehidupan paralel di mana kita bisa merefleksikan apa yang kita lakukan di kehidupan satunya lagi kemudian memperbaiki atau mengubah pilihan-pilihan kita sehingga kita bisa berbahagia dengan apa yang kita miliki. Apakah kita AKAN berbahagia jika kehidupan yang kita impikan (dan tidak kita dapat itu) kita dapatkan? Tidak ada garansi. Apakah teman saya itu akan berbahagia jika hidup dengan saya? Mungkin tidak, dia tidak tahu betapa mengesalkannya saya. Apakah mantan pacar suami saya akan berbahagia jika hidup dengan suami saya? Dia tidak tahu saya aslinya bagaimana, begitu suami saya berkata. 

Apakah kebahagiaan yang dikejar dengan mempertaruhkan apa yang kita miliki sekarang itu memang akan membuat kita bahagia atau seperti Anna Karenina, pada akhirnya menyadari kebahagiaannya tidak ditentukan oleh Vronsky, dan membiarkan dirinya tewas ditabrak kereta api?

Kembali ke Solo, ke Sragen, melihat saat ibu mertua saya dan mantan menantunya saling berpelukan dalam tangis, saya cuma bisa berpikir, kehidupan memang tidak pernah ideal. Apakah kita bisa berdamai dengan ketidakidealan itu, itulah saat kita berjibaku dengan kebahagiaan kita. 


“If you are not happy, act the happy man. Happiness will come later. If you are in despair, act as though you believe. Faith will come afterwards.” 
― Pico Iyer

Comments

Popular Posts