Dari Gaza hingga Cikeusik

-sebuah renungan-

Hampir setahun lewat sejak tulisan saya terakhir di sini. Di luar sana langit biru toska, hari kering dan panas dengan subuh yang menggigilkan. Ibu saya berkata, 'Musim kemarau sudah datang.'

Di luar sana anak saya bermain dengan ayahnya. Lebih tepatnya, membantu ayahnya membereskan halaman. Beruntungnya anak-anak, beres-membereskan hal-hal untuk mereka tidak lebih dan tidak kurang adalah bermain juga. Saya mendengarkan ocehannya dari jendela yang selalu terbuka sepanjang hari. Tawanya membahana. Tawanya membuat saya tersenyum, mengingat pagi tadi ketika bangun, hal pertama yang dia lakukan adalah mencari saya, memastikan saya ada, seperti juga hal terakhir yang dia lakukan di malam hari adalah berbisik di telinga saya bertanya, 'Kamu happy kenapa?', dan wajahnya akan berbinar-binar ketika saya menjawabnya, 'Aku happy karena ada kamu'. Jawaban yang selalu saya ulang-ulang tapi tidak pernah bosan dia dengarkan. 

Saya tahu di luar sana ada banyak anak yang tidak seberuntung dia, dan ada banyak ibu yang tidak bisa memeluk anaknya seperti saya. Pagi ini saya menyalakan telepon genggam, membaca akun twitter saya - kebiasaan buruk semenjak lima enam tahun terakhir - dan gambar demi gambar menyajikan kenyataan perih yang seringkali tak ingin saya baca. Empat anak yang dihantam bom di Gaza, perempuan-perempuan yang kehilangan anak-anaknya di Syria, dan reruntuhan pesawat Malaysia Airlines yang dihantam rudal yang menyisakan ruang kosong di dalam jiwa manusia. Anak yang kehilangan ibu, ibu yang terhantam pedih kehilangan anaknya. Saya yang duduk, mendengarkan anak saya bernyanyi sambil menari,'...because i'm happy, clap along if you feel like a room without a roof....', sementara di depan saya layar komputer menyajikan gambar mengerikan yang membuat saya memejamkan mata.

Human do this to human. Horrible. Condemnable. Harus dikutuk. Mereka yang tertindas harus dibantu. Saya membaca itu di path, di facebook, di twitter, di segala media sosial yang saya punya tentang Gaza. Semua orang yang saya kenalpun mengangguk, mengiyakan, bergidik ngeri. Saling membagikan quote-nya sebagai tanda setuju. 

Ketika bicara soal orang-orang Syiah di Sampang yang sampai sekarang belum bisa pulang ke rumahnya, orang-orang Ahmadiyah di Cikeusik yang dibantai dan dijadikan tontonan, para jemaah gereja yang tak bisa beribadah karena gerejanya disegel, orang-orang Papua yang disiksa atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia, reaksi orang-orang terbelah. Ada yang masih bergidik ngeri, ada yang mencoba mencari pembenaran. Karena Syiah bukan Islam. Karena Ahmadiyah itu menyimpang. Karena gereja itu tidak memiliki IMB. NKRI harga mati. Sementara saya membayangkan bahwa di luar sana, mungkin Israel berkata dengan lantangnya di depan pesawat yang membunuh anak-anak Gaza, 'Karena tanah yang dijanjikan adalah harga mati'. Kematian demi kematian di Syria karena yang satu lebih Islam daripada yang lainnya. Orang-orang Rohingya adalah paria di Myanmar seperti perasaan banyak kaum di negeri ini, dan entah apa justifikasi mereka yang menembak pesawat naas itu.

Beribu alasan, dan anak-anak masih saja kehilangan ibunya. Ibu-ibu masih saja menangisi anak-anaknya.

Saya pernah membaca, katanya orang akan bersimpati, berempati dengan segala sesuatu yang dekat dengan dirinya. Kita, yang mengkotak-kotakkan diri atas nama agama, bangsa, ras, kemudian hanya bisa merasa perih ketika mereka yang berada di dalam kotak yang sama menderita, dan menguarkan segala pembenaran ketika penderitaan itu milik mereka yang berada di luar kotak itu. Padahal ras, bangsa, dan seringkali agama, bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih, tapi sesuatu yang melekat pada diri kita ketika kita lahir.

Saya muak. Muak dengan klaim saya benar dan kamu tidak. Muak dengan klaim saya Islam dan kamu bukan. Muak dengan kecurigaan bahwa kita akan saling menyerang yang berakhir dengan yang takut diserang kemudian menyerang terlebih dahulu. Muak dengan jargon 'Rahmatan lil alamin' yang hanya peduli pada kaumnya sendiri. Muak dengan parade kesolehan yang menjadi-jadi sementara hari demi hari ketakutan dan kebencian yang disebarkan.

Apa yang terjadi? Bukankah, di atas segalanya, kita adalah manusia? Lalu kenapa pembantaian di mana-mana ini selalu memperoleh pembenaran?

Comments

Popular Posts