Nasionalisme

Saya bertemu dengan lelaki setengah baya itu di tengah keriuhan acara belanja rutin di toko Asia tempat saya membeli berbagai bumbu masak khas Indonesia. Kulitnya legam, dia mengenakan kacamata hitam walaupun dia tentu saja sedang berada di dalam ruangan. Kaki kirinya melangkah sedikit terpincang-pincang. Dia sedang berbincang dengan seseorang, ketika saya melangkah masuk ke toko. Matanya langsung mengenali, bahwa saya, seperti juga dia, berasal dari negeri yang sama.

Dia menyapa, dengan suara yang sedikit kencang. Sayapun berbasa basi menyapa kembali. Dan seperti banyak warga negara Indonesia yang tinggal di negeri ini, bapak satu inipun banyak unek-unek yang hendak disampaikan. Entah kenapa, wajah saya tampaknya cocok sebagai penampung unek-unek tersebut. Dan sayapun berhenti, mendengarkan.

Bapak ini sudah 20 tahun lebih di sini. Sudah menjadi warga negara Belanda. Sebuah gestur, yang dianggap banyak orang, tidak nasionalis. Dengan berapi-api si bapak berkata bahwa hatinya, cintanya hanya pada Indonesia. Setiap tahun dia bekerja keras disini, agar dia bisa pulang ke Indonesia setiap tahun pula, meredakan rindu. Saya mengangguk-ngangguk. Beliau ingin memperoleh konfirmasi dari saya, bahwa tidak, saya tidak menganggapnya tidak nasionalis. Tidak sedikitpun. Saya mengangguk-angguk, berkata berulang-ulang bahwa menurut saya beliau nasionalis sejati. Setiap tahun memberikan devisa ke Indonesia. Menghabiskan uangnya di Indonesia. Suara si bapak tambah menggelegar. Tampaknya, kata-kata saya tidak cukup menghibur hatinya. Jauh di dalam hatinya, diapun tampaknya mulai bertanya-tanya.

Sayapun -karena keterbatasan waktu-mengakhiri perbincangan kami. Si bapak tersenyum, mungkin berusaha menghibur diri bahwa ada orang Indonesia yang tahu bahwa dia masih cinta Indonesia. Mudah-mudahan itu cukup untuk menghibur dirinya pagi itu.

Di rumah, saya kemudian membuka komputer. Ada berita bahwa orang Mandailing yang di Malaysia meminta tortor untuk diakui sebagai kebudayaan di Malaysia. Dan marahlah orang-orang di Indonesia. Pada waktu yang hampir bersamaan, cerita tentang orang Papua yang ditembaki juga memenuhi laman berita, dan tiba-tiba saya teringat si bapak.

Banyak orang yang lebih terusik ketika budaya kita hendak dilestarikan oleh orang lain. Seolah-olah budaya itu secara murni hanya menjadi milik kita dari sejak pertama. Banyak yang tidak peduli ketika saudara kita ditembaki di Papua sana. Mungkin karena agamanya berbeda dengan agama kebanyakan warga negara Indonesia. Mungkin apapun menjadi boleh selama itu dalam kerangka nasionalisme. Demi negara kesatuan.

Saya ingin menghibur si bapak. Nasionalisme adalah keberpihakan untuk memanusiakan manusia. Jika sebuah negara gagal memanusiakan warganya, apa yang harus dibela. Tanah air selalu bisa dikunjungi dan dihayati di dalam hati.

Mungkin. Mungkin saja.



Comments

Popular Posts