Pertanyaan tentang Tuhan

(resensi buku yang belum selesai)

Imagine there's no heaven, it's easy if you try
No hell below us, above us only sky
Imagine all the people living for today

Imagine there's no countries, it isn't hard to do
Nothing to kill or die for, and no religion too
Imagine all the people, living life in peace


Imagine-John Lennon

Saya belum selesai membaca Dawkins. Baru separuhnya. Tapi sudah gatal menulis. Saya kutip ini dari facebook seorang teman. Syahdan, Ibu Sina berkata bahwa di bumi ini hanya ada dua macam manusia, yang berakal tapi tidak beragama, atau yang beragama tapi tidak berakal. Dawkins jelas masuk kategori yang pertama.

Dawkins menulis bukunya dengan harapan bahwa semua yang memiliki agama akan menjadi ateis, atau minimal agnostik. Sebuah harapan yang 'optimistik'. Saya tipikal orang yang suka membenturkan diri. Saya bukan domba yang diatur jalannya. Saya dikaruniai otak oleh Tuhan. Jadi mengapa tidak saya membaca buku ini yang katanya revolusioner dan menohok ini. Sebelum membaca, saya sedikit takut bahwa dengan membaca buku ini, saya akan jadi ateis, hehe. Saya sudah bertanya pada suami saya apakah dia keberatan kalau saya membuka jilbab dan menjadi ateis, dan dia cuma tertawa (suami yang baik, atau gila seperti istrinya?). Saya asumsikan itu sebagai tidak. Jadi saya teruskan membaca bukunya.

Baiklah saya mulai. Dawkins seorang ilmuwan. Seorang ahli biologi. Penganut paham Darwin. Dawkins menyandarkan semua teorinya tentang 'kegilaan' tentang Tuhan ini pada rasionalitas ilmu. Bahwa sampai saat ini, Tuhan tidak bisa dibuktikan keberadaannya. Bahwa Darwin dan teori Penciptaan Pertama menentang cerita-cerita agama Samawi tentang Adam dan dunia diciptakan dalam tujuh hari. Orang yang mengatakan bahwa untuk percaya Tuhan memang butuh 'faith' saja, tidak bisa dibenarkan dalam kerangka rasionalitas Dawkins.

Dari sini saya mulai skeptis. Saya bukan ilmuwan. Apalagi ahli biologi (tapi suami saya iya ya, hehe). Saya tahu bahwa dalam teori Darwin ada missing link yang sampai sekarang masih belum ditemukan. Nah, menganalisa Tuhan menggunakan teori belum lengkap? Kedua, sebut saya skeptis, tapi sampai sekarang saya masih beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah 'sophisticated hocus-pocus'. Semua ilmu itu benar sampai terbukti salah, atau ada yang lebih benar. Ilmu pengetahuan seperti jalan panjang menuju kebenaran sejati. Dan menganalisa Tuhan mengandalkan peer review (seperti climate change yang tidak juga dipercayai orang Amerika karena lack of peer review) buat saya is just as ridiculous as believing in religion blindly. Buat saya, believing in God does takes a leap of faith. Dan jika Dawkins memutuskan untuk tidak percaya Tuhan sampai terbukti sebaliknya, saya memutuskan untuk percaya Tuhan sampai terbukti sebaliknya.

Yang menarik, di dalam buku itu Dawkins mengungkapkan bahwa Pascal membuat sebuah teorema yang menurut saya lucu. Saya baru tahu kalau Pascal membuat teorema seperti itu. Katanya, lebih menguntungkan jadi orang beragama, karena kalau dia salah, yah, dia ga rugi apa-apa (toh Tuhan itu tidak ada), tapi kalau dia benar (dan orang ateis salah), dia untung dan orang ateis masuk neraka :D. Speaking about the most funniest (with a hint of irony) zero sum game :p

Akan tetapi, saya memahami kegusaran Dawkins pada agama. Agama yang seharusnya menjadi lilin penerang dan menjadi berkah untuk umat manusia saat ini menjadi sumber pertikaian, kerakusan, politik, dan kekerasan. Jadi kita beragama untuk apa? Mengapa Tuhan terlihat begitu kejam, keras, jahat dan tanpa ampunan jika kita melihat wajah para pengikutnya? Jika agama seharusnya membuat dunia menjadi lebih baik, mengapa pembunuhan dan kekerasan terus menerus muncul atas nama agama? Tidakkah relevan ketika para ateis dan agnostik kemudian menyerukan, mungkin lebih baik sebuah dunia tanpa agama seperti dinyanyikan dengan penuh harapan oleh John Lennon?

Saya juga sepakat bahwa kritik terhadap agama-seperti apapun bentuknya-seharusnya dibiarkan saja. Tuhan (untuk yang percaya Tuhan) mungkin untouchable, tapi agama yang ada saat ini adalah organisasi-organisasi yang dijalankan manusia. Dan manusia, being the human that he/she is, menyimpan dua sisi mata uang pada dirinya. Kritik dibutuhkan untuk memberi alternatif. Saya entah kenapa tidak sepakat dengan ide bahwa 'umat itu tidak tahu mana yang baik mana yang buruk sehingga yang buruk harus dijauhkan'. Apa gunanya seseorang yang tidak bisa berpikir untuk dirinya sendiri, yang tidak bisa membedakan baik dan buruk? Apakah Tuhan yang dipercayai karena tidak ada pilihan lain adalah tipikal umat teladan? Tipikal umat yang seperti domba yang menurut saja kemana penggembalanya pergi?

Jadi, mungkin saya termasuk yang 'wear my faith lightly' karena menurut saya, walaupun tidak selalu sepakat dengan JIL, JIL seharusnya tetap ada. Jika kita membiarkan opini agama berbau kekerasan dan pedang, kenapa kita harus benci dengan opini berbau liberal? Biarkan pilihannya jadi banyak. Biar kita semua bisa menentukan kebenaran milik kita sendiri. Biarkan Salman Rusdhie menulis apapun tanpa harus dihadiahi ancaman hukuman mati. Seperti kata Gus Dur, Tuhan itu tidak perlu dibela (dan seperti kata seorang ateis di bukunya Dawkins, toh kalau kita benar, orang-orang ateis akan masuk neraka, tidakkah itu cukup?).

Buku yang menohok memang. Masih harus melanjutkan membaca walaupun kelihatannya dia tidak akan membuat saya menjadi ateis (tapi membuat saya jadi tertarik pada manusia bernama Darwin dan teorinya). Membuat saya berpikir. Mungkin saya harus belajar bahasa Arab. Bukan untuk bergenit-genit menyapa antum, akhi, ente. Tapi untuk menemukan kebenaran di lembaran-lembaran suci itu tanpa bias manusia lain.

Wallahualam.
.

Comments

Popular Posts