jilbab dan arabisasi

Awalnya adalah bicara soal pakaian. Tentang bagaimana pakaian menjadi penanda, atau pembeda, seseorang dengan orang lainnya. Bagaimana Pak Felix, yang penganut Sunda Buhun itu, memakai pakaian yang dijahit sendiri dan diwarnai alami seperti orang Baduy. Atau seorang Vegan, yang hanya memakai pakaian yang tidak mengandung unsur binatang. Atau jeans, yang menjadi lambang westernisasi.

Lalu pembicaraan beralih ke jilbab. Dua orang yang berbincang dengan saya adalah orang yang tidak berpendapat bahwa jilbab adalah sebuah keharusan. Jilbab buat mereka, adalah lambang pengungkungan perempuan atas ketidakmampuan kaum lelaki mengungkung hawa nafsunya. Jilbab adalah arabisasi yang mengarus deras di Indonesia ini.

Salah seorang teman saya yang berbincang tentang hal ini lalu menuliskan pemikirannya tentang jilbab dan arabisasi ini dan mengirimkannya ke ‘Jurnal Perempuan’. Lalu suatu saat dia berbincang lagi dengan saya tentang hal ini. Dan saya berpendapat cukup keras kepadanya. Saya rasa tidaklah adil bahwa para pemakai jilbab dianggap terlalu kearab-araban. Di sisi lain, lalu mengapa kalau kearab-araban? Apakah ini sesuatu yang salah? Apa bedanya dengan jeans kalau bicara soal pengaruh?

Jilbab menurut saya dimaknai terlalu berlebihan. Di satu kelompok, seperti yang ditulis di Kompas hari ini di kolom Persona (Lemet mengirimkan sms pada saya, saya rasa untuk mengingatkan saya untuk membacanya), tidak memakai jilbab adalah lambang ‘tidak bermoral’. Ketika seseorang memakai jilbab, dia sudah terelevasi satu tingkat di atas yang tidak memakai jilbab. Sehingga padanya dikenakan berbagai kepatutan dan ketidakpatutan. Sering sekali saya mendengar kata-kata,’Pakai jilbab kok loncat-loncat ya?’ dan segala macam aturan yang dilekatkan pada jilbab itu. Jilbab menjadi lambang ketaatan yang membedakannya dengan orang yang tidak taat yang tidak memakai jilbab. Petakompli*

Di kelompok yang lain, di kelompok liberal feminis dan sebangsanya, jilbab adalah lambang pengungkungan hak-hak perempuan. Lambang pengungkungan perempuan oleh aturan yang notabene didominasi oleh para lelaki. Sehingga di dunia barat dan di dunia liberal, seolah-olah pemakai jilbab adalah orang yang dengan rela hati menjadi subordinat (laki-laki), kurang memiliki pikiran (karena mau dikungkung oleh laki-laki). Jilbab menjadi lambang pemenjaraan. Tentu saja, selain lambang arabisasi. Sebuah petakompli lain yang sama ajaibnya. Apakah ketika seorang perempuan telanjang itu adalah lambang kemerdekaan? Tentu tidak sesederhana itu.

Saya rasa, pada awalnya aturan jilbab diciptakan untuk melindungi perempuan. Sebagai pemakai jilbab pemula, saya gembira memakai jilbab, karena saya tidak perlu banyak-banyak menyisir atau kebingungan memotong rambut (kebetulan rambut saya adalah tipe yang susah diatur). Intinya, penampilan bukan hal yang terlalu penting ketika memakai jilbab karena banyak bagian yang tertutup (salah satunya tentu saja adalah lemak, hehehe). Secara filosofis, jilbab buat saya adalah adalah ajaran Islam untuk berfokus pada esensi bukan pada hal permukaan. Saya rasa keimanan tidak bisa diukur dari jilbab (walaupun pasti para penganut paham jilbab adalah kewajiban akan berkata bahwa memakai jilbab adalah bentuk keimanan kita pada perintah Allah, yang saya memang benar adanya). Tapi setelah memakai jilbab, apakah secara esensi orang itu lebih baik dari orang yang tidak memakai jilbab, saya rasa hanya Allah yang tahu dan bisa menilai. Sama salah kaprahnya adalah orang yang berpikir orang yang memakai jilbab adalah orang yang kurang cerdas, orang yang memilih untuk menyerahkan kebebasannya dan menjadi subordinat. Hanya karena kepala ditutup bukan berarti kapasitas otak kita berkurang, kan?

Jilbab membuat kita terlindungi dari laki-laki? Awalnya saya berpikir demikian, tapi kemudian teori ini termentahkan. Ketika memakai jilbab, saya merasa nyaman karena tidak lagi dipandang laki-laki secara kurang ajar (biarpun selama ini rasanya cara berpakaian saya tidak pernah provokatif). Tapi kemudian ternyata banyak orang yang tidak malu-malu memandang secara provokatif juga ketika saya sudah memakai jilbab. Teman baik saya bilang, banyak lelaki jadi fetish sama pemakai jilbab yang bikin saya jadi merinding. Laki-laki memang aneh. Dibuka salah, ditutup salah, hehehe….

Dan ketika jilbab dipakai sebagai bentuk kepercayaan kita pada agama yang kita percayai, kenapa itu menjadi sesuatu yang salah? Apa bedanya jilbab dengan salib? Dengan topi orang-orang Yahudi? Menjadi salah ketika jilbab menjadi sesuatu yang dipaksakan kepada individu, saya rasa. Seperti juga salah ketika jilbab dipaksa dibuka dari seseorang.

Jilbab buat saya sebuah pilihan personal yang dimaknai secara pribadi. Polemiknya bermula ketika jilbab menjadi alat pengkotak-kotakan. Alat pembeda untuk sesuatu yang sebenarnya tidak bisa kita nilai melulu dari permukaan.

Sebelum memakai jilbab, saya sempat bertanya pada beberapa orang, apakah jilbab itu harus? Di buku pak Quraish Shibab, beliau tidak menyatakan bahwa jilbab adalah sebuah keharusan. Ulama sebagian besar menyatakan bahwa jilbab adalah sebuah keharusan, saya rasa termasuk di dalamnya adalah golongan yang suka dianggap mahiwal seperti Kang Jalal. Fikih lima mahzab yang saya baca menyatakan kelima mahzab arus besar di dalam Islam menyatakan keharusan untuk menutupi kulit, dan bukan bentuk. Apakah jilbab sesuatu yang harus atau bukan, itu berpulang pada diri masing-masing. Yang bisa saya lakukan hanyalah menahan diri untuk menilai seseorang dari apa yang dia kenakan, itu saja, apakah dia memakai jilbab atau memakai bikini.

Jadi ingat, reaksi orang-orang ketika tahu saya pakai jilbab.
‘Enci, kamu kenapa?’
‘Kenapa emang?’
‘Kamu tidak lagi sakit kan? Kamu sedang dikemoterapi?’
(Tertawa terbahak-bahak).’Ga, saya cuma kelebihan scarf, dan yang saya lakukan hanyalah mengutilisasi scarf-scarf itu supaya tidak mubazir.'

Teman-teman baik saya rasa humornya memang suka aneh.

*Petakompli saya indonesiakan secara suka-suka dari fait accompli, kata di dalam bahasa Perancis yang menurut Wikipedia mempunyai makna something that has happened and is unlikely to be reversed . Kata ini dahulu sering sekali saya dengar untuk menggambarkan sebuah situasi yang terjadi pada kita, biasanya sesuatu yang kurang menyenangkan, tapi agak sulit untuk diubah lagi. Protes seseorang membuat saya 'terpaksa' membuat catatan kaki ini walaupun rasanya bukan tugas saya untuk mencerdaskan siapapun, hehehe...

Comments

  1. hihi temennya kreatif banget, ada2 ada aja. mun temen saya mah langsung to the point: kamu botak ya?? hihi

    kalo aku pribadi mah pake jilbab karena pengen aja, ga nyambung ama yg laen2 selain bisi dipanggil mendadak hihi. soalnya pas pelajaran agama ada praktek membungkus jenasah dan aku baru tau waktu itu kalo jenazah perempuan dipakein jilbab sebagai salah satu lapisan kafan.

    ReplyDelete
  2. o ya? pas perempuan meninggal mereka pake jilbab? aku baru tau..meni serem di sakola na pake acara praktek membungkus jenasah

    -enci-

    ReplyDelete
  3. iya cie dulu diajarin gitu. ada berapa lapis kafan gitu, trus salah satu lapisan tadi dipakenya kaya kita pake jilbab. model jenasah di peragakan oleh boneka bayi hihihi

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts